Strategi komunikasi organisasi nirlaba untuk membangun kredibilitas

Paramita Mohamad
9 Maret, 2018
Kucing yang tidur telentang adalah kucing yang percaya dengan lingkungan sekitarnya.
Sekitar dua minggu yang lalu Communication for Change mempublikasikan artikel tentang kesalahan-kesalahan umum yang sering dilakukan organisasi masyarakat sipil dalam komunikasi publik. Dua dari kesalahan itu berkaitan dengan kebiasaan organisasi (memperlakukan komunikasi publik sebagai sekedar pelengkap dan bukan bagian sentral dari program organisasi; enggan menyewa praktisi profesional). Yang satu lagi adalah perencanaan strategi komunikasi yang masih di bawah standar.

Kami lalu mendapat pertanyaan lanjutan sebagai tanggapan artikel ini:
Saya sependapat bahwa brand awareness (mungkin terjemahannya pengenalan) dinilai terlalu tinggi tidak hanya di sektor nirlaba, tapi juga di dunia pemasaran (karena yang lebih penting adalah brand salience, tapi mari jangan melenceng).

Saya tidak mempunyai studi kasus tentang bagaimana organisasi nirlaba bisa membangun kredibilitas ke audiens baru, namun saya ingin berbagi jalan pikiran saya, seandainya ada klien yang memberi brief (arahan) ini.

Strategi adalah praktik memperhitungkan cara terbaik dari sini menuju sana. Kita mulai dengan deskripsi “di mana kita sekarang”. Pertanyaan di atas adalah tentang organisasi nirlaba yang harus berhadapan dengan audiens baru. Saya akan mundur beberapa langkah: apa yang membawa organisasi itu ke audiens baru ini? Tentunya ada beberapa penjelasan, tapi untuk mempermudah penulisan artikel ini saya beranjak dari dugaan bahwa perkembangan strategi organisasi ini membawa mereka ke hadapan audiens yang sebelumnya tak pernah bersinggungan dengan mereka.

Pertanyaan berikutnya adalah, apa yang membuat audiens ini penting bagi organisasi? Tujuan akhir komunikasi sektor nirlaba adalah mengubah kebijakan atau mengubah perilaku masyarakat (mengubah opini publik adalah sasaran antara). Artinya, audiens baru ini bisa terkait dengan salah satu dari dua tujuan itu.

Kemungkinan pertama, audiens baru ini mungkin terkait dengan perubahan kebijakan: bisa jadi mereka adalah pembuatnya, atau pihak yang bisa mempengaruhi pengambil keputusan.

Menyadari bahaya berpikir stereotipikal, sejauh ini saya baru bertemu pembuat kebijakan yang mungkin bisa disebut bergaya teknokratis. Paling tidak secara tersurat mereka peduli dengan “basis bukti” dalam membuat kebijakan. Sementara itu saya yakin banyak sekali kebijakan dibuat tidak dengan semangat teknokratis, tapi sebagai manuver politik praktis. Saya belum pernah berada dalam situasi kerja dengan mereka, tapi saya curiga mereka punya pertimbangan selain “basis bukti”.

Apa yang biasanya menghalangi pembuat kebijakan bergaya teknokratis menganggap sebuah think tank nirlaba kredibel? Mungkin karena dia belum pernah mendengar lembaga ini sebelumnya. Dengan demikian, salah satu pendekatan yang kita pilih untuk masuk ke radar pembuat kebijakan yang belum tahu keberadaan organisasi kita adalah dengan mencari pihak lain yang ia percaya yang bisa menghubungkan kita dengannya. Tujuannya adalah membuka peluang interaksi dengan si pembuat kebijakan. Namun, pembuat kebijakan harus segera bisa melihat bahwa interaksi dengan think tank ini bisa membantu memajukan agendanya.

Dalam interaksi awal dengan pembuat kebijakan, cobalah untuk merancangnya agar bisa menggunakan taktik-taktik berikut:
Dari level kenal sampai ke level percaya, biasanya pembuat kebijakan yang bergaya teknokratis perlu diyakinkan dalam hal-hal ini:
  • Jika think tank ini memberi rekomendasi arah kebijakan, sejauh mana rekomendasi itu dilandasi bukti empiris yang akurat dan dianalisis dengan benar?
  • Rekomendasi lain apa saja yang pernah diusung think tank ini? Bagaimana tanggapan dari pembuat kebijakan yang menerimanya?
  • Sejauh mana orang-orang dari think tank ini kompeten di bidang ini? Apa petunjuknya? Bagaimana rekam jejaknya?
  • Apa kepentingan yang diusung think tank ini? Apakah bias ideologinya, dan siapa sumber dananya?
Selain interaksi tatap muka langsung, media yang bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini mungkin cukup standar (situs web, brosur, policy brief). Sayangnya seringkali eksekusi di media tersebut tidak optimal karena dibuat dengan modus “biasanya begini”: tanpa berpikir panjang tentang objektifnya, apalagi berempati dengan sasaran komunikasinya, dengan tulisan bertele-tele, ditata letak dalam desain yang asal jadi.

Media lain yang juga cukup sering di(salah)gunakan dalam interaksi think tank dengan pembuat kebijakan adalah presentasi (dalam bahasa pemerintah, paparan). Terlalu sering saya melihat presentasi menjadi “PowerPoint karaoke”: presenter membaca teks demi teks yang menjejali slide, sementara audiens sibuk mengerjakan hal yang lebih menyenangkan daripada menahan rasa bosan. Kalau Anda tertarik bagaimana membuat isi presentasi (termasuk desain dan visualiasi) dan menyampaikannya, Anda bisa menjajaki pelatihan yang kami berikan.

Kemungkinan kedua, audiens baru ini berkaitan dengan tujuan akhir mengubah perilaku. Di sini pertanyaannya adalah: untuk berubah, apakah audiens harus percaya dulu dengan pihak yang memintanya berubah?

Kalau kita mengandaikan bahwa manusia 100% rasional, jawaban pertanyaan ini adalah ya. Audiens tipe ini akan punya pertanyaan dan pertimbangan yang sama seperti layaknya pengambil kebijakan yang bergaya teknokratis.

Tapi jawaban ini terlalu berharap banyak akan rasionalitas manusia. Ilmu perilaku dipenuhi tentang studi tentang jarangnya kita melakukan pertimbangan mendalam panjang lebar sebelum memutuskan untuk mengubah tingkah laku. Kita terlalu malas atau sibuk untuk melakukan pertimbangan ini (ingat metafora gajah dan kusir untuk Sistem 1 dan 2?). Selain itu, intuisi moral kita membutakan kita dan membuat kita tidak bisa melepaskan identitas tribal kita (ingat teori fondasi moral dari Jonathan Haidt?).
Dalam hal ini, dengan sedih saya berhipotesis bahwa kredibilitas organisasi nirlaba sebagai pengajak perilaku baru hanya relevan sebagai pembenaran atau justifikasi dari mereka yang cenderung sudah setuju. Di mata penentang, organisasi nirlaba ini tidak akan pernah relevan. Kalau ada yang sudah pernah baca studi tentang ini, silakan berkomentar.

Lalu harus bagaimana? Jika Anda ingin mengubah perilaku sekelompok orang, Anda harus menggunakan pendekatan lain. Anda harus menggunakan pendekatan yang tidak mengasumsikan rasionalitas perilaku manusia, seperti Fogg behavior model, behavior economics, dan moral foundation theory. Hal ini akan lebih lanjut kami bahas dalam kursus strategi komunikasi buat sektor nirlaba.
Dan akhirnya kita sampai pada kotak Pandora: bukankah pengambil kebijakan bergaya teknokratis sebetulnya juga bertingkah laku sama: terutama dikendarai Sistem 1 yang cepat, dangkal, dan emosional, serta dibutakan oleh intuisi moralnya?

Tentu saja. Mereka manusia biasa. Saya rasa, beda mereka dengan audiens untuk perubahan perilaku adalah mereka lebih punya intensif untuk paling tidak “berperan” sebagai manusia Sistem 2. Tapi kita juga tahu bahwa beroperasi dalam Sistem 2 sungguh menyita energi mental, sehingga cepat atau lambat (dan biasanya lebih cepat) Sistem 1 akan muncul juga, with a vengeance.

Saya menduga bahwa untuk bisa menjawabnya, saya perlu belajar lebih jauh tentang apa yang orang-orang dalam dunia pembangunan menyebutnya thinking and working politically. Saya akan memulai dari sini. Apakah Anda bisa berbagi pengalaman institusi Anda dalam hal ini? Saya akan senang mendengarnya.
Paramita Mohamad
Penulis
CEO and Principal Consultant of Communication for Change. We work with those who want to make Indonesia suck less, by helping them get buy-in and make changes.

Artikel terkait