Dari level kenal sampai ke level percaya, biasanya pembuat kebijakan yang bergaya teknokratis perlu diyakinkan dalam hal-hal ini:
- Jika think tank ini memberi rekomendasi arah kebijakan, sejauh mana rekomendasi itu dilandasi bukti empiris yang akurat dan dianalisis dengan benar?
- Rekomendasi lain apa saja yang pernah diusung think tank ini? Bagaimana tanggapan dari pembuat kebijakan yang menerimanya?
- Sejauh mana orang-orang dari think tank ini kompeten di bidang ini? Apa petunjuknya? Bagaimana rekam jejaknya?
- Apa kepentingan yang diusung think tank ini? Apakah bias ideologinya, dan siapa sumber dananya?
Selain interaksi tatap muka langsung, media yang bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini mungkin cukup standar (situs web, brosur,
policy brief). Sayangnya seringkali eksekusi di media tersebut tidak optimal karena dibuat dengan modus “biasanya begini”: tanpa berpikir panjang tentang objektifnya, apalagi berempati dengan sasaran komunikasinya, dengan tulisan bertele-tele, ditata letak dalam desain yang asal jadi.
Media lain yang juga cukup sering di(salah)gunakan dalam interaksi
think tank dengan pembuat kebijakan adalah presentasi (dalam bahasa pemerintah, paparan). Terlalu sering saya melihat presentasi menjadi “
PowerPoint karaoke”: presenter membaca teks demi teks yang menjejali
slide, sementara audiens sibuk mengerjakan hal yang lebih menyenangkan daripada menahan rasa bosan. Kalau Anda tertarik bagaimana membuat isi presentasi (termasuk desain dan visualiasi) dan menyampaikannya, Anda bisa menjajaki
pelatihan yang kami berikan.
Kemungkinan kedua, audiens baru ini berkaitan dengan tujuan akhir mengubah perilaku. Di sini pertanyaannya adalah: untuk berubah, apakah audiens harus percaya dulu dengan pihak yang memintanya berubah?
Kalau kita mengandaikan bahwa manusia 100% rasional, jawaban pertanyaan ini adalah ya. Audiens tipe ini akan punya pertanyaan dan pertimbangan yang sama seperti layaknya pengambil kebijakan yang bergaya teknokratis.
Tapi jawaban ini terlalu berharap banyak akan rasionalitas manusia. Ilmu perilaku dipenuhi tentang studi tentang jarangnya kita melakukan pertimbangan mendalam panjang lebar sebelum memutuskan untuk mengubah tingkah laku. Kita terlalu malas atau sibuk untuk melakukan pertimbangan ini (ingat metafora gajah dan kusir untuk Sistem 1 dan 2?). Selain itu, intuisi moral kita membutakan kita dan membuat kita tidak bisa melepaskan identitas tribal kita (ingat teori fondasi moral dari Jonathan Haidt?).
Dalam hal ini, dengan sedih saya berhipotesis bahwa kredibilitas organisasi nirlaba sebagai pengajak perilaku baru hanya relevan sebagai pembenaran atau justifikasi dari mereka yang cenderung sudah setuju. Di mata penentang, organisasi nirlaba ini tidak akan pernah relevan. Kalau ada yang sudah pernah baca studi tentang ini, silakan berkomentar.
Lalu harus bagaimana? Jika Anda ingin mengubah perilaku sekelompok orang, Anda harus menggunakan pendekatan lain. Anda harus menggunakan pendekatan yang tidak mengasumsikan rasionalitas perilaku manusia, seperti
Fogg behavior model,
behavior economics, dan
moral foundation theory. Hal ini akan lebih lanjut kami bahas dalam
kursus strategi komunikasi buat sektor nirlaba.