Lalu bagaimana cara memecahkan dilema ini? Menurut kami, ada jalan tengah yang bisa diambil. Protes yang ekspresif tetap perlu dilakukan, karena liputan media bisa membuat lebih banyak warga yang akhirnya paham ada situasi yang harus diubah. Namun protes ekspresif harus selalu didampingi kampanye persuasi menggalang dukungan publik sekaligus advokasi kebijakan —jika jalurnya memang memungkinkan.
Tidak berarti tiga hal ini harus dilakukan berbarengan oleh satu organisasi. Sebaliknya, bagi-bagi tugas sangat penting karena mereka yang “kebagian” peran untuk jadi juru protes kemungkinan besar tidak akan pernah diundang masukannya oleh penguasa. Selain itu, organisasi yang berperan mengajak warga mendukung agenda perubahan tidak bisa melakukan aksi ekstrem kalau mau efektif. Bagi-bagi tugas akan “mengepung” isu dari semua sisi dan membuat kesempatan akan adanya perubahan semakin besar.
Ketika kita bicara persuasi, sasaran utamanya adalah masyarakat awam yang tidak (atau kita harap, belum) sepeduli aktivis tentang isu. Ketidakpedulian ini bisa jadi ada karena belum paham, tidak merasa perlu paham, atau tidak ada alasan yang memaksa mereka untuk paham. Pendekatan lain yang bisa kita lakukan adalah kampanye yang persuasif dan tidak menggurui. Ini akan sangat efektif untuk menghindari resistensi dari bagian masyarakat yang cenderung apatis terhadap perubahan.
Untuk orang-orang ini, kita bisa menggunakan modus komunikasi "interupsi" di saat kita menjangkau mereka untuk pertama kalinya. Modus komunikasi “interupsi” berfungsi seperti iklan produk komersial, di mana publik yang belum pernah menerima eksposur isu ini “dibuat terpapar” di ruang publik.
Meskipun demikian, jangan juga berharap bahwa mereka yang tadinya tak peduli langsung mau terlibat penuh. Tidak ada solusi instan untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian. Kunci dari semua ini adalah komunikasi yang konsisten dan berkelanjutan.
Sejalan dengan ini, ketika warga yang awalnya peduli sudah terlihat mau lebih terlibat, para aktivis di organisasi masyarakat sipil harus sudah siap menampung dan menyalurkan energi mereka dengan menyediakan berbagai pilihan bentuk keterlibatan, mulai dari yang “kelas ringan” seperti menyebarkan konten atau menandatangani petisi, “kelas welter” seperti berdonasi uang atau waktu, sampai “kelas berat” seperti ikut aksi unjuk rasa. Jangan sampai momentum yang sudah dibangun dengan susah payah hilang.
Pada akhirnya, kunci untuk memecah dilema ini adalah koordinasi pendorong perubahan yang menjalankan protes, persuasi, dan advokasi di lini masing-masing.