Ketika ekspresi kekecewaan publik bertentangan dengan hasil riset, yang mana yang bisa dipercaya?

Oleh Macan Wigit
25 April 2025
Belakangan ini banyak ekspresi ketidakpuasan publik yang ditujukan pada layanan dan lembaga publik. Ketidakpuasan ini umum disuarakan di platform digital, dan mencakup berbagai slogan viral, tagar, dan unggahan kritis yang tajam, yang sering kali disertai dengan kisah pribadi yang emosional. Ungkapan ketidakpuasan ini telah menjadi fitur reguler komunikasi daring, yang menyoroti kekurangan yang dirasakan dari layanan dan lembaga publik.

Namun, terlepas dari keluhan yang terus-menerus serta pernyataan ketidakpuasan publik di internet, riset dari lembaga survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik secara keseluruhan terhadap lembaga negara tetap sangat tinggi.
Banyak orang merasa sulit mempercayainya. Beberapa orang berasumsi penelitian tersebut bias atau bahkan dimanipulasi untuk melayani kepentingan tertentu.

Communication for Change ingin mencari tahu sendiri, jadi kami berbicara langsung dengan lembaga survei di balik data tersebut. Setelah meninjau metodologi mereka, kami menemukan bahwa penelitian tersebut tidak dibayar oleh pihak luar dan tidak mengikuti proses yang bias.

Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: mengapa orang terus mempercayai lembaga pemerintahan sambil terus menyatakan ketidakpuasan terhadapnya? Itulah celah yang ingin kami telusuri.
Penelitian memberi kami bahan mentah, tetapi kami masih perlu mengolahnya
World Values Survey pada tahun 2017-2022 memberikan salah satu kemungkinan alasannya. Menurut data, masyarakat Indonesia sebagian besar masih konservatif. Banyak orang masih menempatkan nilai tinggi pada ketertiban, stabilitas, dan rasa hormat terhadap otoritas, sementara kurang mementingkan ekspresi pribadi atau kebebasan individu. Nilai-nilai ini memengaruhi cara orang berpikir tentang lembaga dan tentang perubahan. Misalnya, alih-alih mendorong reformasi radikal, mereka mungkin lebih memilih solusi yang terasa familier dan aman.
Dalam konteks ini, menjadi "konservatif" tidak selalu berarti mengikuti ideologi politik atau agamis. Ini lebih mengacu pada pola pikir yang mengutamakan keharmonisan sosial, penghormatan terhadap tradisi, dan perubahan bertahap daripada tiba-tiba. Orang yang konservatif sering kali percaya bahwa sistem dan aturan yang mapan ada karena suatu alasan, dan bahwa perubahan harus dilakukan dengan hati-hati dan terkendali. Pendekatan ini cenderung berhati-hati, terutama dalam hal mempertanyakan otoritas atau melanggar norma.
Bagi mereka yang berupaya mendorong perubahan, informasi ini sangat penting. Ini menegaskan sesuatu yang telah dirasakan banyak dari mereka: bahwa mayoritas penduduk Indonesia cenderung konservatif dalam cara mereka memandang dunia dan apa yang mereka harapkan dari kepemimpinan. Ini tidak berarti bahwa perubahan tidak mungkin dilakukan, tetapi ini berarti bahwa pesan untuk perubahan perlu berbicara tentang nilai-nilai ini, bukan menentangnya. Daripada membingkai perubahan sebagai pemutusan dari masa lalu, mungkin lebih efektif untuk menyajikannya sebagai cara untuk kembali ke cita-cita inti seperti keadilan, integritas, dan tugas publik.

Menjadi konservatif tidak berarti menentang perubahan. Individu konservatif masih dapat tergerak untuk bertindak, selama kita berbicara dalam bahasa yang mereka kenali dan percayai. Bahasa ini sering kali sangat berbeda dari bahasa yang digunakan dalam kalangan aktivis, yang cenderung berfokus pada hak, keadilan, atau ekspresi diri. Saat mencoba melibatkan komunitas konservatif, kita perlu mengubah pesan kita untuk mencerminkan nilai dan prioritas mereka.

Untuk melakukannya, pertama-tama kita harus memahami apa yang penting bagi mereka. Audiens konservatif cenderung menghormati otoritas, melihat agama sebagai bagian inti kehidupan, dan merasakan ikatan emosional yang kuat dengan kelompok mereka—baik itu yang didefinisikan oleh bangsa, etnis, atau komunitas lokal. Nilai-nilai ini membentuk cara mereka menanggapi pesan publik. Jika kita mengabaikan mereka atau berbicara dengan nada yang terasa asing, pesan tersebut kemungkinan akan diabaikan, tidak peduli seberapa penting masalahnya.

Inilah sebabnya mengapa narasi moral lebih efektif daripada argumen abstrak. Pesan yang menekankan tanggung jawab, kesetiaan, atau melindungi orang yang kita sayangi sering kali lebih berkesan daripada pesan yang hanya berfokus pada kritik atau reformasi struktural. Tema-tema seperti patriotisme, cinta tanah air, dan komitmen terhadap keluarga cenderung diterima dengan baik oleh khalayak konservatif. Ini bukan sekadar topik pembicaraan—ini adalah jangkar emosional yang memberi makna pada kehidupan orang-orang.

Jadi, daripada mengatakan, "Lembaga ini rusak dan harus dibongkar," pesan yang lebih efektif mungkin adalah, "Kami ingin mengembalikan nilai-nilai yang pernah menjadikan lembaga ini sesuatu yang bisa kami banggakan." Alih-alih menyerukan disrupsi, kita dapat berbicara tentang perbaikan, pembaruan, dan menjaga masa depan untuk generasi mendatang. Tujuannya tetap kemajuan dan perubahan, tetapi jalan untuk mencapainya dimulai dengan empati dan kefasihan budaya.
Berbicara dengan bahasa konservatif untuk mendorong pergerakan
Berdasarkan temuan ini, jelas bahwa pesan kampanye harus lebih dari sekadar benar secara faktual, pesan tersebut harus selaras dengan budaya masyarakat. Bagi khalayak dengan nilai-nilai konservatif, pesan harus ditulis dengan nada yang mencerminkan pandangan dunia mereka. Artinya, gunakan bahasa yang terasa familier, penuh rasa hormat, dan berakar pada nilai-nilai bersama, bukan cita-cita abstrak atau kritik tajam.

Empati juga penting. Meskipun orang mungkin menyalahkan orang lain, kita dapat membimbing mereka untuk melihat pola yang lebih luas tanpa terdengar seperti kita menyerang. Ini membantu untuk berbicara tentang rasa tanggung jawab mereka, bukan hanya rasa marah mereka. Kita tidak hanya menuding; kita mengundang mereka untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih baik.

Pesan juga harus dihindari agar tidak terdengar konfrontatif atau terlalu dramatis. Seruan untuk perubahan yang tiba-tiba dan menyeluruh dapat dengan mudah terasa mengintimidasi. Sebaliknya, kita dapat membingkai perubahan sebagai sesuatu yang stabil dan dapat dicapai. Kemajuan bertahap mungkin tidak terdengar menarik, tetapi terasa lebih aman dan lebih realistis bagi banyak orang, terutama mereka yang menghargai stabilitas.

Terakhir, perubahan tidak selalu harus datang dari pertentangan langsung. Terkadang, strategi yang paling efektif adalah bekerja dengan orang lain yang dapat memainkan peran yang berbeda. Sementara satu kelompok mungkin mengambil pendekatan yang lebih keras dan lebih kritis, kelompok lain dapat membangun jembatan dan membuka pintu. Dinamika "polisi baik, polisi jahat" ini dapat membantu kampanye menjangkau khalayak yang lebih luas tanpa kehilangan momentum atau kejelasan pesan.

Dengan memahami nilai-nilai orang yang ingin kita jangkau dan dengan berbicara kepada mereka dengan rasa hormat dan perhatian, kita membuat perubahan lebih mungkin terjadi, bukan sebaliknya. Tujuannya bukanlah untuk mengorbankan visi, tetapi untuk memperluas jalan ke depan sehingga lebih banyak orang merasa menjadi bagian darinya.
Ciptakan perubahan sosial melalui narasi berbasis data dan riset bersama kami!
Dari data dan riset menjadi narasi yang kuat, kami membantu organisasi nirlaba untuk merancang narasi berdasarkan pengetahuan dan data. Mulai dari organisasi nirlaba yang ingin merancang tutur cerita maupun strategi berbasis riset untuk mendorong perubahan, C4C memiliki keahlian untuk mewujudkan visi tersebut.

Dapatkan konsultasi gratis selama 1 jam untuk mengetahui bagaimana kami dapat mendukung visi Anda. Klik tombol di bawah untuk memulai!
Tertarik untuk mempelajarinya?
Atur janji bicara

Related Articles