Bagi mereka yang berupaya mendorong perubahan, informasi ini sangat penting. Ini menegaskan sesuatu yang telah dirasakan banyak dari mereka: bahwa mayoritas penduduk Indonesia cenderung konservatif dalam cara mereka memandang dunia dan apa yang mereka harapkan dari kepemimpinan. Ini tidak berarti bahwa perubahan tidak mungkin dilakukan, tetapi ini berarti bahwa pesan untuk perubahan perlu berbicara tentang nilai-nilai ini, bukan menentangnya. Daripada membingkai perubahan sebagai pemutusan dari masa lalu, mungkin lebih efektif untuk menyajikannya sebagai cara untuk kembali ke cita-cita inti seperti keadilan, integritas, dan tugas publik.
Menjadi konservatif tidak berarti menentang perubahan. Individu konservatif masih dapat tergerak untuk bertindak, selama kita berbicara dalam bahasa yang mereka kenali dan percayai. Bahasa ini sering kali sangat berbeda dari bahasa yang digunakan dalam kalangan aktivis, yang cenderung berfokus pada hak, keadilan, atau ekspresi diri. Saat mencoba melibatkan komunitas konservatif, kita perlu mengubah pesan kita untuk mencerminkan nilai dan prioritas mereka.
Untuk melakukannya, pertama-tama kita harus memahami apa yang penting bagi mereka. Audiens konservatif cenderung menghormati otoritas, melihat agama sebagai bagian inti kehidupan, dan merasakan ikatan emosional yang kuat dengan kelompok mereka—baik itu yang didefinisikan oleh bangsa, etnis, atau komunitas lokal. Nilai-nilai ini membentuk cara mereka menanggapi pesan publik. Jika kita mengabaikan mereka atau berbicara dengan nada yang terasa asing, pesan tersebut kemungkinan akan diabaikan, tidak peduli seberapa penting masalahnya.
Inilah sebabnya mengapa narasi moral lebih efektif daripada argumen abstrak. Pesan yang menekankan tanggung jawab, kesetiaan, atau melindungi orang yang kita sayangi sering kali lebih berkesan daripada pesan yang hanya berfokus pada kritik atau reformasi struktural. Tema-tema seperti patriotisme, cinta tanah air, dan komitmen terhadap keluarga cenderung diterima dengan baik oleh khalayak konservatif. Ini bukan sekadar topik pembicaraan—ini adalah jangkar emosional yang memberi makna pada kehidupan orang-orang.
Jadi, daripada mengatakan, "Lembaga ini rusak dan harus dibongkar," pesan yang lebih efektif mungkin adalah, "Kami ingin mengembalikan nilai-nilai yang pernah menjadikan lembaga ini sesuatu yang bisa kami banggakan." Alih-alih menyerukan disrupsi, kita dapat berbicara tentang perbaikan, pembaruan, dan menjaga masa depan untuk generasi mendatang. Tujuannya tetap kemajuan dan perubahan, tetapi jalan untuk mencapainya dimulai dengan empati dan kefasihan budaya.