Sebelum membujuk kelompok konservatif-mayoritas untuk melihat sisi lain dari isu-isu yang bagi mereka kontroversial (atau bahkan konfrontatif), mari kita lebih dulu memahami perspektif mereka.
Pandangan moral kaum konservatif berpijak di atas lebih banyak pondasi
Psikologi moral mempelajari topik-topik seperti pandangan, emosi, penalaran, motivasi, dan intuisi di balik perilaku manusia dalam konteks benar atau salah. Saya akan mengutip
The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion oleh Jonathan Haidt (2012) untuk mendalami sudut pandang kelompok konservatif.
Salah satu metafor utama dalam buku ini adalah, intuisi moral bisa dibandingkan dengan lidah manusia yang mempunyai lima reseptor rasa. “Reseptor rasa” untuk intuisi dalam menilai salah benar disebut fondasi moral.
Setiap orang lahir dengan semua fondasi moral (ada enam, akan saya jelaskan nanti), karena ini berguna untuk evolusi. Sama seperti faktor bawaan lainnya seperti temperamen, fondasi moral yang hadir saat kita lahir bisa diumpamakan bagai draf pertama dari sebuah tulisan. Draf pertama ini kemudian direvisi terus-menerus oleh pengalaman hidup yang pastinya dipengaruhi faktor-faktor lingkungan sosial dan budaya. Faktor-faktor inilah yang menjelaskan munculnya variasi pandangan moral.
Apa saja fondasi-fondasi moral itu? Jika lidah mengenal lima reseptor rasa (manis, asin, pahit, asam, umami), maka intuisi moral punya enam fondasi.
Kasih/kezaliman (care/harm)Pada awalnya pemicu fondasi ini adalah penderitaan darah daging kita. Sejalan dengan perkembangan peradaban, sekarang pemicu fondasi kasih/kezaliman meluas mencakup penderitaan orang lain.
Menariknya,“ orang lain” bagi kaum liberal bersifat universal, mencakup siapapun yang tertindas tanpa melihat bangsa, agama, dan sukunya. Sebaliknya, bagi kaum konservatif “orang lain” diartikan lebih sempit, yakni mereka yang dipandang sudah berkorban bagi kelompok.
Keadilan/kecurangan (fairness/cheating)Fondasi moral ini terkait dengan prinsip proposionalitas: setiap orang mendapat apa yang memang layak ia dapatkan, dan tidak mendapatkan apa yang tidak seharusnya ia dapatkan. Evolusi mewariskan kita fondasi ini karena manusia perlu melindungi komunitasnya dari individu yang curang atau mau enak sendiri.
Fondasi keadilan/kecurangan lebih relevan bagi golongan konservatif. Sementara itu, semakin liberal-progresif seseorang, semakin ambivalen pandangannya terhadap proposionalitas. Orang yang menjunjung asas proporsionalitas cenderung menyetujui hukuman yang berat buat pelanggaran hukum berat. Selain itu, mereka tidak menyetujui bantuan sosial jika diinterpretasikan sebagai “subsidi bagi pemalas”. Dua hal ini akan sulit diterima golongan liberal yang mengutamakan kasih dan persamaan hak. Karena itulah golongan liberal lebih senang menafsirkan fondasi keadilan/kecurangan berdasarkan asas persamaan hak, bukan proposionalitas.
Contoh ketidaksepahaman ini muncul saat ramai penggusuran di Jakarta dua tahun yang lalu (“orang miskin tidak tahu diri, menduduki tanah yang bukan haknya, disuruh pindah ke rumah susun tidak mau” vs. “pemukiman layak adalah hak asasi manusia, sehingga penggusuran adalah perbuatan tidak adil dan keji”).
Kemerdekaan/penindasan (liberty/oppression)Evolusi membekali kita dengan fondasi moral kemerdekaan/penindasan karena setiap anggota komunitas perlu melindungi dirinya dari perisak (
bully, bukan salah ketik). Kita sesungguhnya tidak peduli pada persamaan demi persamaan itu sendiri. Kita baru bergerak memperjuangkan persamaan saat kita merasa diperlakukan semena-mena.
Baik golongan liberal dan konservatif menganggap penting fondasi moral kemerdekaan/penindasan. Bedanya, bagi golongan liberal pihak yang tertindas adalah semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan (di Indonesia: orang miskin, pemeluk agama minoritas, LGBT, masyarakat adat). Konsekuensinya, golongan liberal menyakralkan asas persamaan hak, dan menuangkannya ke dalam perjuangan membela hak asasi manusia, terutama bagi yang tertindas (lihat contoh tentang penggusuran di atas).
Sebaliknya, golongan konservatif (dan liberal-kanan alias liberal-klasik alias mungkin neolib) fokusnya adalah pada pihak penindas. Di sini, penindas diterjemahkan menjadi penguasa alias pemerintah yang membatasi kebebasan individu.
Di Indonesia, ketidaksepahaman ini muncul dalam perdebatan tentang pembantaian terhadap mereka yang secara sepihak dituduh sebagai simpatisan PKI tahun 1965–1967. Rezim Orde Baru memposisikan PKI dan simpatisannya sebagai penghianat, lengkap dengan berbagai mitos tentang penyiksaan jenderal di Lubang Buaya. Tak heran jika generasi demi generasi di Indonesia menerima begitu saja kalau anggota dan simpatisan PKI memang pantas mendapat ganjaran semaksimal mungkin (lihat foto di awal artikel ini).
Pandangan ini mulai goyah, paling tidak di kalangan masyarakat umum, saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melambungkan wacana untuk minta maaf kepada korban pembantaian pasca 1965. Gus Dur mampu melihat mereka sebagai orang yang ditindas, namun beliau mendapat tantangan yang sangat keras terutama dari kalangan TNI. Perdebatan ini terus berlanjut sampai sekarang, apalagi semenjak film
The Act of Killing beredar dan berlangsungnya Simposium 1965 di tahun 2016.
Loyalitas/penghianatan (loyalty/betrayal)Manusia yang hidup saat ini adalah keturunan dari nenek-moyang yang hidup dalam puak (
tribe atau
ingroup) yang kohesif, bukan Homo sapiens yang individualistik. Puak yang kohesif lebih mampu menjaga teritori mereka dan melakukan pembagian tugas, sehingga mereka bisa bertahan hidup dan terus berketurunan.
Pemicu asli dari fondasi loyalitas/penghianatan adalah hal-hal yang dapat mengancam keutuhan kelompok.
Jika kita melihat kefanatikan dan emosi cinta atau benci yang intens di kalangan fans klub olah raga, maka tidak heran jika fondasi moral loyalitas/penghianatan menjadi relevan dalam politik. Ini menjelaskan mengapa politisi-politisi di Indonesia senang menggunakan wacana “kebanggaan” atau kedaulatan” bangsa. Wacana-wacana ini menarik buat kelompok konservatif, konsisten dengan tingginya orientasi mereka akan kepuakan atau tribalisme.
Namun golongan liberal yang beriorientasi pada asas universalisme, persamaan, dan fondasi kasih/kezaliman sulit memahami pentingnya sentimen nasionalisme bagi kelompok konservatif. Ketidaksepahaman ini bisa diilustrasikan melalui perdebatan antara kubu “
right or wrong is my country” (konservatif, mengutip salah satu dogma Orde Baru) melawan “
right or wrong is right or wrong” (liberal).
Kekuasaan/subversi (authority/subversion)Fondasi moral ini terkait dengan rasa respek kepada orang tua, atasan, dan siapapun yang posisinya lebih tinggi daripada kita dalam hirarki sosial. Seperti dalam fondasi sebelumnya, nenek moyang kita memerlukan mekanisme yang mengijinkan pemimpin untuk menegakkan peraturan dan menyelesaikan konflik. Artinya, puak membutuhkan hirarki sosial untuk menjaga ketertiban dan keadilan demi keberlangsungannya.
Dulu fondasi moral kekuasaan/subversi dipicu oleh ancaman ke pribadi pemimpin puak. Sekarang, fondasi moral ini dipicu dari segala hal yang terkait dengan kepatuhan atau perlawanan terhadap tradisi, institusi, dan stabilitas negara atau figur junjungan.
Sama seperti loyalitas/penghianatan, sulit bagi kelompok liberal untuk menerima fondasi moral kekuasaan/subversi, karena mereka menentang kesenjangan status dan kuasa sosial.
Kesucian/degradasi (sanctity/degradation)Ada dua alasan dari evolusi mengapa kita punya fondasi moral ini. Pertama, sebagai omnivora Homo sapiens harus menyeimbangkan antara neofilia (keinginan mencoba hal-hal baru untuk dimakan) dan neofobia (keinginan menghindari hal-hal yang tak dikenal untuk menghindari patogen). Kedua, saat manusia purba mulai hidup komunal dalam pemukiman, mereka harus melindungi dirinya dari kontaminasi kuman, bakteri, dan parasit. Tidak mengherankan jika fondasi moral kesucian/degradasi pada awalnya terkait dengan rasa jijik yang muncul dari pengindraan yang menandakan kehadiran patogen.
Seiring dengan berkembangnya peradaban, agama-agama pun lalu mengadaptasi fondasi moral ini. Fondasi moral kesucian/degradasi terkait dengan
ethics of divinity yang beranjak dari gagasan bahwa raga manusia adalah kendaraan sementara buat jiwa yang berasal dari figur ilahi. Karena itulah ajaran tentang kebersihan berlaku universal di semua agama, dan agama-agama besar mengibaratkan tubuh manusia seperti tempat ibadah (yang harus dijaga kesuciannya), bukan sebagai taman ria (sumber kenikmatan). Muncullah konsep-konsep seperti kesucian, dosa, najis,
elevation atau
upliftment, dan kemerosotan ahlak.
Jika pada awalnya jijik adalah mekanisme untuk menyelesaikan dilema omnivora (neofilia vs neofobia), maka sekarang emosi ini digunakan untuk menyelesaikan konflik antara xenofilia (ketertarikan pada hal-hal asing) dan xenofobia. Akibatnya, hal-hal yang menimbulkan jijik meluas ke liyan (
out group) yang dianggap membawa kotoran sehingga mengancam kemurnian kelompok. Bagi (sebagian) umat Hindu di India, liyan adalah
orang-orang Dalit yang tidak boleh disentuh. Bagi (sebagian) umat beragama di Indonesia, liyan adalah kelompok LGBT. Bagi (sebagian) penduduk Eropa, liyan adalah kaum imigran dari Afrika.
Di konteksnya masing-masing, sebagai pembawa najis maka kasta Dalit, kelompok LGBT, dan imigran harus dikucilkan. Dalam pandangan yang lebih ekstrim, beberapa orang setuju bahwa liyan perlu dimusnahkan dari muka bumi (lihat foto di awal artikel ini).
Namun apakah fondasi moral kesucian/degradasi hanya relevan untuk meminggirkan liyan? Haidt menjawabnya dengan menggarisbawahi kesakralan. Ia berpendapat tidak akan ada yang sakral jika tidak ada yang menjijikkan. Objek dan ritual yang disakralkan (ibadah) penting untuk menjamin kooperasi di masyarakat yang sangat luas, melalui pemupukan rasa keterikatan (
sense of belonging) sekaligus menegakkan ajaran melalui ritual ibadah bersama), serta solidaritas melalui zakat atau persepuluhan. Objek dan ritual sakral menggabungkan individu dalam sebuah komunitas moral.
Selain itu, ritual yang sakral bisa mendorong terjadinya pengalaman transendental, saat individu seakan lepas dari individualitasnya dan menyatu dengan sesuatu yang agung (misalnya lewat zikir dan doa atau mantera yang berulang-ulang).
Kelompok konservatif memegang teguh fondasi moral ini. Sebaliknya, banyak kaum liberal yang mempertanyakannya begitu mereka tahu kesucian/degradasi ikut menyumbang pada penindasan liyan. Beberapa filsuf terkemuka telah mengakui
ethics of divinity yang menjiwai fondasi kesucian/degradasi tidak selamanya cocok dengan welas asih (
compassion), egalitarianisme, dan hak asasi manusia.
Menjangkau golongan konservatif-mayoritas dengan fondasi moral di luar kasih/kezaliman dan keadilan/kecuranganUraian di atas bisa dirangkum dengan satu obervasi: golongan liberal hanya merangkul dua fondasi moral, yakni kasih/kezaliman dan keadilan/kecurangan. Golongan konservatif merangkul semua fondasi moral. Akibatnya, jika kita ingin mengusung ide-ide yang sebetulnya bersumber dari moralitas golongan liberal, kita tidak bisa hanya mengemasnya dengan wacana kasih/kezaliman atau keadilan/kecurangan. Kita harus membingkai ulang isu-isu itu dengan nilai-nilai yang mereka anggap penting, namun asing bagi kelompok liberal: loyalitas, kekuasaan, dan kesucian.
Video ini menjelaskan bagaimana penerimaan terhadap pengungsi, sebuah isu yang digadang kaum liberal berdasarkan fondasi kasih/kezaliman, perlu dibingkai ulang dengan nilai-nilai lain untuk menggalang dukungan dari kelompok konservatif (artikel yang lebih lengkap ada di
sini):