Selain adanya “kesenjangan makna” antara pemikiran sebagian orang dengan prinsip serta norma dalam persyaratan minimum demokrasi, kami menemukan bahwa konsepsi mereka berkaitan dengan fondasi moral yang digunakan oleh orang dengan pandangan konservatif, yang sering kali tidak sejalan dengan prinsip demokrasi liberal.
Teori fondasi moral menyatakan bahwa penilaian kita tentang benar atau salah bersifat intuitif, dan kita menggunakan penalaran hanya untuk membenarkan “putusan” tersebut ketika diperlukan.
Intuisi moral dapat dianalogikan dengan lidah manusia yang memiliki lima reseptor rasa. “Reseptor rasa” bagi intuisi moral disebut sebagai fondasi moral. Setiap orang terlahir dengan enam fondasi moral. Fondasi moral yang hadir sejak lahir dapat dibandingkan dengan draf pertama sebuah tulisan. Pengalaman hidup yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya akan terus merevisi draf pertama ini.
Jika lidah mengenali lima reseptor rasa (manis, asin, pahit, asam, umami), maka intuisi moral,
menurut Haidt, memiliki enam fondasi.
- Harm vs care: berkaitan dengan penderitaan orang lain. “Orang lain” didefinisikan oleh kaum liberal sebagai ‘seluruh umat manusia’, sedangkan oleh kaum konservatif sebagai ‘komunitas saya’.
- Fairness vs cheating: Kaum konservatif mengaitkan keadilan dengan proporsionalitas, sementara bagi kaum liberal, keadilan berarti kesetaraan.
- Liberty vs oppression: berkaitan dengan kebencian universal terhadap penindas. Kaum liberal berfokus pada pembelaan terhadap korban penindasan, sementara kaum konservatif berjuang melawan para penindas.
- Loyalty vs betrayal: berkaitan dengan keterikatan emosional yang kuat terhadap kelompok dalam (in-group). Kelompok dalam ini mencakup bangsa, suku, ras, agama, dan identitas sosial lainnya. Tidak seperti kaum konservatif, kaum liberal cenderung tidak menggunakan fondasi moral ini.
- Authority vs subversion: berkaitan dengan ketaatan kepada figur otoritas, konformitas, dan ketertiban. Kaum konservatif peduli terhadap fondasi ini, sedangkan kaum liberal tidak.
- Sanctity vs degradation: berkaitan dengan rasa jijik terhadap hal-hal yang dianggap mencemari kemurnian atau kesakralan sesuatu yang dianggap suci oleh sebuah kelompok. Fondasi ini penting bagi kaum konservatif, tetapi tidak bagi kaum liberal.
Sebagaimana yang kami temukan dalam
riset tahun 2021, pandangan moral sebagian besar orang Indonesia cenderung konservatif. Studi kami menegaskan temuan sebelumnya dari
World Value Survey (2016), yang menggambarkan Indonesia sebagai negara di mana mayoritas warganya menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional (ketaatan kepada orang tua dan otoritas, pentingnya agama, kesatuan keluarga, nasionalisme) serta nilai yang berorientasi pada kelangsungan kelompok (tribalisme dan etnosentrisme, rendahnya kepercayaan dan toleransi terhadap kelompok lain).
Pandangan konservatif ini tercermin dalam temuan kami mengenai tema-tema dalam pemaknaan demokrasi:
- Kebebasan membawa kekacauan: Kebebasan perlu diatur secara ketat demi menjaga ketertiban dan harmoni sosial. Hal ini berkaitan dengan fondasi otoritas versus subversi.
- Kesetaraan, bagi sebagian: Kesetaraan dalam hak atau kebebasan terbatas hanya untuk kelompok yang dianggap “bersih” dan sesuai dengan norma tradisional atau agama. Hal ini berkaitan dengan fondasi kesakralan versus penodaan.
- Klub penggemar politisi: Preferensi terhadap pemimpin atau politisi yang menjanjikan prioritas pada kelompok dalam (in-group) mencerminkan fondasi loyalitas versus pengkhianatan.
- Penyedia “layanan” yang terbuka terhadap protes: Demokrasi lebih dipahami sebagai cara bagi rakyat untuk mendapatkan apa yang “pantas” sesuai kontribusinya, daripada tentang kesetaraan hak atau kesempatan. Hal ini berkaitan dengan fondasi keadilan proporsional versus kecurangan.