Melakukan riset terkait bagaimana masyarakat umum memandang demokrasi untuk mengembangkan narasi sosial yang selaras dengan mereka

C4C meneliti bagaimana masyarakat Indonesia memaknai demokrasi untuk membangun narasi sosial yang lebih dekat dengan publik. Dari riset ini lahir wawasan baru tentang peran nilai konservatif, tantangan kesetaraan, hingga pentingnya memperkuat institusi demokrasi.
Oleh Dimas Haryo Metaram
29 Agustus 2025
C4C adalah firma konsultasi yang bekerja di persimpangan antara riset dan pesan, dengan tujuan mendorong berbagai isu sosial di Indonesia serta memperkuat masyarakat sipil. Salah satu proyek utama kami berfokus pada demokrasi, didorong oleh keyakinan bahwa narasi dan persepsi publik memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan demokratis. Contoh nyatanya dapat dilihat pada perubahan wacana publik di Amerika Serikat dan dampaknya yang mendalam terhadap demokrasi mereka.

Di Indonesia, kemunduran demokrasi telah membawa negara ini semakin dekat dengan ambang otoritarianisme kompetitif, sementara para elit politik secara aktif melemahkan institusi demokrasi, di sisi lain ada peran publik yang membiarkan kemunduran ini (Jeffrey & Warburton, 2024). Hal ini semakin mengkhawatirkan mengingat survei yang secara konsisten menunjukkan adanya dukungan publik yang kuat terhadap demokrasi. Namun, sebuah studi menemukan bahwa ketika responden dengan tingkat pendidikan lebih rendah diberikan definisi demokrasi yang jelas dalam kuesioner, mereka justru lebih cenderung mendukung otokrasi. Studi ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak selalu dipahami dengan cara yang sama atau secara seragam oleh banyak orang. Karena itu, kami memutuskan untuk melakukan riset untuk mengetahui apa arti demokrasi bagi masyarakat umum.

Kami merancang serangkaian studi dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Selain itu, kami berencana mengembangkan bagian kuantitatif dari riset ini menjadi barometer demokrasi dan ruang sipil yang setiap tahun memantau tingkat pemahaman serta dukungan publik terhadap demokrasi. Melalui riset ini, kami berupaya mengeksplorasi bagaimana narasi alternatif dapat dikembangkan untuk membangun dukungan publik terhadap institusi, kebijakan, dan kepemimpinan demokratis di Indonesia.
Berikut sedikit dari yang kita pelajari melalui riset kami:

Masyarakat umum meyakini beberapa aspek dari demokrasi, tetapi pemahaman mereka tentang konsep demokrasi secara menyeluruh masih terbatas

Dari penelitian, kami menemukan bahwa sebagian warga negara memandang demokrasi terutama melalui dimensinya yang liberal atau pluralis, seperti kesetaraan dan perlindungan hak-hak sipil dan kebebasan. Misalnya, temuan dari FGD, X, dan Q method menunjukkan dukungan terhadap hak dan perlakuan yang setara bagi semua warga negara, kebebasan berekspresi dan berorganisasi, kesetaraan gender dalam partisipasi politik, dan toleransi.

Meskipun beberapa warga negara setuju dengan gagasan hak dan toleransi yang menjadi inti demokrasi liberal dan pluralis, hal ini tidak selalu berarti pemahaman mereka tentang demokrasi sejalan dengan seluruh prinsip dan norma yang diperlukan oleh demokrasi liberal. Dalam penelitian, kami mengidentifikasi lima tema utama dalam cara orang menafsirkan makna demokrasi:

Kesetaraan, untuk sebagian orang

Prinsip kesetaraan dalam masyarakat Indonesia sering diterapkan secara selektif, di mana hak dan kebebasan lebih kuat dijunjung bagi mayoritas yang dianggap “sesuai norma.” Temuan Q Method menunjukkan bahwa meskipun kebebasan berekspresi dan berasosiasi umumnya dihormati, hak-hak kelompok minoritas seksual kerap ditolak. Ada juga konsensus bahwa demi kepentingan bersama, individu dengan pandangan ekstrim sebaiknya dilarang mencalonkan diri dalam jabatan publik atau berbicara di forum umum, yang semakin mencerminkan dukungan bersyarat terhadap hak politik.

Di sisi lain, Q Method menyoroti adanya sikap positif terhadap kesetaraan gender dalam partisipasi politik. Namun, FGD secara konsisten menunjukkan pandangan yang berakar pada peran tradisional keluarga, di mana suami dipandang sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama, sementara istri diharapkan mengurus urusan domestik. Hal ini mengindikasikan bahwa “selektivitas” dalam kesetaraan tidak hanya berlaku pada siapa yang menerimanya, tetapi juga pada ranah di mana ia diakui.

Kebebasan membawa ketidakteraturan, ketegasan membawa ketertiban

Temuan dari FGD dan Q method menunjukkan bahwa sebagian warga lebih memprioritaskan ketertiban dan stabilitas sosial dibandingkan kebebasan individu. Mereka memandang demokrasi yang “tanpa batas” sebagai sumber potensi kekacauan, bahkan ada yang percaya bahwa demokrasi di Indonesia “sudah terlalu jauh.” Bagi sebagian responden, demokrasi lebih didefinisikan oleh kepatuhan terhadap aturan ketimbang kebebasan.

Kekhawatiran bahwa demokrasi telah melampaui batas ini sering disertai keyakinan—sebagaimana tercermin dalam hasil Q method, bahwa pemerintah sebaiknya memiliki “diskresi” dalam menjalankan kewenangannya demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa peserta FGD juga menggambarkan demokrasi sebagai sesuatu yang “berbelit-belit,” yang semakin memperkuat pandangan tersebut.

Selain itu, banyak responden menekankan bahwa “ketegasan” adalah sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin ideal, yang menunjukkan bahwa pemimpin secara luas dipersepsikan sebagai penjamin stabilitas sekaligus solusi atas tantangan politik.

Fan club politisi

Diskusi publik, khususnya di platform X, didominasi oleh pembicaraan tentang figur politik, sementara isu kebijakan atau ideologi kurang menonjol. Hal ini menegaskan temuan sebelumnya bahwa warga cenderung lebih berfokus pada figur pemimpin dibandingkan ideologi atau program, yang mencerminkan karakteristik demokrasi personalistik.

Klientelisme politik: Antara ketergantungan dan pragmatisme

Temuan dari analisis konten X, FGD, dan Q method menunjukkan adanya konsensus bahwa pemerintah seharusnya memprioritaskan kesejahteraan rakyat dengan membangun infrastruktur serta mengendalikan harga kebutuhan pokok. Temuan ini sejalan dengan riset sebelumnya yang menunjukkan bahwa demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan yang menghadirkan manfaat ekonomi dan keadilan bagi rakyat.

Pandangan ini tercermin dalam nostalgia terhadap Orde Baru yang diungkapkan oleh beberapa responden FGD, yang menganggap masa tersebut lebih baik dibanding era sekarang yang lebih demokratis, karena harga kebutuhan pokok dinilai lebih stabil.

Kami melihat kemungkinan adanya pandangan bahwa pemerintah diposisikan sebagai pemberi kemurahan hati, bukan sebagai pengelola yang bertanggung jawab kepada rakyat. Hal ini mencerminkan bahwa bagi sebagian orang, praktik klientelisme, yakni pemberian keuntungan atau bantuan sebagai imbalan atas dukungan rakyat kepada penguasa, dianggap sebagai hal yang wajar.

Pemerintah sebagai penyedia “layanan” bisa diprotes, tetapi...

Sebagian warga berharap pemerintah dapat menghadirkan manfaat sosial dan ekonomi serta mengurangi ketimpangan sosial. Temuan Q method juga menunjukkan adanya keyakinan bahwa redistribusi melalui pajak sangat penting untuk menekan ketimpangan. Dari FGD, beberapa responden mengharapkan pemerintah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sebagai timbal balik atas kewajiban warga, seperti membayar pajak.

Temuan FGD juga mengungkap kekhawatiran masyarakat terhadap pembangunan yang timpang dan praktik korupsi. Hal ini konsisten dengan temuan riset kami yang lain, yang menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan daerah dan korupsi dianggap sebagai “perusak” keadilan sosial bagi sebagian komunitas.

Lalu, apa yang dilakukan warga jika mereka merasa “layanan” pemerintah dalam memberikan manfaat ekonomi tidak sesuai harapan? Atau jika mereka menyaksikan atau mengalami ketidakadilan? Temuan dari FGD dan Q method menunjukkan bahwa cara untuk menyampaikan keluhan kepada pemerintah adalah dengan memprotes melalui media sosial (beberapa menyebut istilah “no viral, no justice”) atau turun ke jalan. Namun, dari FGD kami juga menemukan banyak responden yang merasa cemas bahwa aksi protes mereka akan dibalas oleh pemerintah, misalnya dengan perangkat desa menghentikan pemberian layanan kepada mereka.
Fondasi moral konservatif memengaruhi pemaknaan demokrasi bagi masyarakat umum.
Selain adanya “kesenjangan makna” antara pemikiran sebagian orang dengan prinsip serta norma dalam persyaratan minimum demokrasi, kami menemukan bahwa konsepsi mereka berkaitan dengan fondasi moral yang digunakan oleh orang dengan pandangan konservatif, yang sering kali tidak sejalan dengan prinsip demokrasi liberal.
Teori fondasi moral menyatakan bahwa penilaian kita tentang benar atau salah bersifat intuitif, dan kita menggunakan penalaran hanya untuk membenarkan “putusan” tersebut ketika diperlukan.

Intuisi moral dapat dianalogikan dengan lidah manusia yang memiliki lima reseptor rasa. “Reseptor rasa” bagi intuisi moral disebut sebagai fondasi moral. Setiap orang terlahir dengan enam fondasi moral. Fondasi moral yang hadir sejak lahir dapat dibandingkan dengan draf pertama sebuah tulisan. Pengalaman hidup yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya akan terus merevisi draf pertama ini.
Jika lidah mengenali lima reseptor rasa (manis, asin, pahit, asam, umami), maka intuisi moral, menurut Haidt, memiliki enam fondasi.
  • Harm vs care: berkaitan dengan penderitaan orang lain. “Orang lain” didefinisikan oleh kaum liberal sebagai ‘seluruh umat manusia’, sedangkan oleh kaum konservatif sebagai ‘komunitas saya’.
  • Fairness vs cheating: Kaum konservatif mengaitkan keadilan dengan proporsionalitas, sementara bagi kaum liberal, keadilan berarti kesetaraan.
  • Liberty vs oppression: berkaitan dengan kebencian universal terhadap penindas. Kaum liberal berfokus pada pembelaan terhadap korban penindasan, sementara kaum konservatif berjuang melawan para penindas.
  • Loyalty vs betrayal: berkaitan dengan keterikatan emosional yang kuat terhadap kelompok dalam (in-group). Kelompok dalam ini mencakup bangsa, suku, ras, agama, dan identitas sosial lainnya. Tidak seperti kaum konservatif, kaum liberal cenderung tidak menggunakan fondasi moral ini.
  • Authority vs subversion: berkaitan dengan ketaatan kepada figur otoritas, konformitas, dan ketertiban. Kaum konservatif peduli terhadap fondasi ini, sedangkan kaum liberal tidak.
  • Sanctity vs degradation: berkaitan dengan rasa jijik terhadap hal-hal yang dianggap mencemari kemurnian atau kesakralan sesuatu yang dianggap suci oleh sebuah kelompok. Fondasi ini penting bagi kaum konservatif, tetapi tidak bagi kaum liberal.

Sebagaimana yang kami temukan dalam riset tahun 2021, pandangan moral sebagian besar orang Indonesia cenderung konservatif. Studi kami menegaskan temuan sebelumnya dari World Value Survey (2016), yang menggambarkan Indonesia sebagai negara di mana mayoritas warganya menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional (ketaatan kepada orang tua dan otoritas, pentingnya agama, kesatuan keluarga, nasionalisme) serta nilai yang berorientasi pada kelangsungan kelompok (tribalisme dan etnosentrisme, rendahnya kepercayaan dan toleransi terhadap kelompok lain).
Pandangan konservatif ini tercermin dalam temuan kami mengenai tema-tema dalam pemaknaan demokrasi:
  • Kebebasan membawa kekacauan: Kebebasan perlu diatur secara ketat demi menjaga ketertiban dan harmoni sosial. Hal ini berkaitan dengan fondasi otoritas versus subversi.
  • Kesetaraan, bagi sebagian: Kesetaraan dalam hak atau kebebasan terbatas hanya untuk kelompok yang dianggap “bersih” dan sesuai dengan norma tradisional atau agama. Hal ini berkaitan dengan fondasi kesakralan versus penodaan.
  • Klub penggemar politisi: Preferensi terhadap pemimpin atau politisi yang menjanjikan prioritas pada kelompok dalam (in-group) mencerminkan fondasi loyalitas versus pengkhianatan.
  • Penyedia “layanan” yang terbuka terhadap protes: Demokrasi lebih dipahami sebagai cara bagi rakyat untuk mendapatkan apa yang “pantas” sesuai kontribusinya, daripada tentang kesetaraan hak atau kesempatan. Hal ini berkaitan dengan fondasi keadilan proporsional versus kecurangan.
Kami berharap dapat mendorong isu-isu sosial di Indonesia melalui proyek research-to-messaging kami
Berdasarkan temuan ini, kami sedang mengembangkan narasi alternatif tentang demokrasi yang dapat selaras dengan mayoritas konservatif di Indonesia serta mendorong dukungan publik yang lebih luas untuk memperkuat institusi demokrasi. Setelah diuji dan disempurnakan, narasi-narasi ini, bersama dengan riset kami, akan dikompilasi ke dalam sebuah platform data open-access bagi CSO dan lembaga think tank untuk memperkuat advokasi dan kampanye mereka, membantu mereka keluar dari gema ruang sendiri (echo chamber).

Apa yang kami bagikan di sini hanyalah sekilas dari pekerjaan kami. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang riset, metodologi, dan hasil narasi kami, ikuti kanal sosial kami dan kontak kami.
Pelajari lebih lanjut tentang riset kami, karena ini hanyalah sekilas darinya
Jika Anda tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang temuan riset kami dan narasi alternatif yang telah kami kembangkan, kami mengundang Anda untuk mengikuti kanal media sosial kami. Di sana, kami akan membagikan pembaruan, wawasan, serta rangkaian acara yang akan berlanjut dengan peluncuran platform data kami, bernama Lab Narasi, pada Oktober 2025.
Instagram: @c4c_id
LinkedIn: Communication for Change
Twitter: @C4C_ID
Siap membuat riset atau narasi Anda berdampak?
Di Communication for Change (C4C), kami telah mendampingi berbagai lembaga riset dan organisasi masyarakat sipil dalam merancang dan menyampaikan rekomendasi kebijakan yang berbasis bukti, cermat secara politik, dan disesuaikan agar relevan dengan para pemangku kepentingan.

Hubungi kami untuk menjajaki bagaimana kami dapat membantu mengubah riset Anda menjadi komunikasi strategis yang berdampak, baik melalui riset narasi, pengujian narasi, pengembangan narasi, maupun dukungan dalam keterlibatan pemangku kepentingan.
C4C adalah arsitek narasi perubahan, menjembatani riset dan komunikasi untuk merancang pesan serta narasi pendorong perubahan.

Kami menerjemahkan data dan pengetahuan menjadi tutur cerita strategis untuk membantu organisasi di sektor sosial dalam menjangkau publik, menginspirasi aksi, dan mendorong terjadinya perubahan.
Tertarik untuk mempelajarinya?
Atur janji bicara
Kontak kami

Related Articles