Ramainya pasar dan pusat perbelanjaan menjelang Idulfitri membuat kita marah dan mempertanyakan kembali kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kita yang jengkel lantas menggerutu sambil bertanya, “Apa
sih yang ada di pikiran mereka? Apa mereka tidak sadar bahwa kegiatan mereka tidak hanya mengancam diri mereka sendiri tapi juga orang lain?”
Pertanyaan ini muncul karena kita berasumsi bahwa seseorang atau kelompok tidak bertingkah laku tertentu karena mereka belum sadar tentang konsekuensi atau cara yang lebih benar, dan edukasi bisa memperbaikinya. Menurut kami asumsi ini keliru. Sebagai perusahaan yang telah menangani berbagai kampanye perubahan perilaku, menurut kami di Communication for Change kesadaran dan pemahaman (yang menjadi tujuan edukasi) hanyalah elemen kecil untuk mendorong perubahan perilaku.
Untuk berbagi pemahaman ini, kami menyelenggarakan sesi webinar untuk umum minggu lalu (20 Mei 2020). Artikel ini merangkum poin-poin diskusi yang telah kami bahas.
Mari kita berkaca dari perilaku kita sendiriTahukah Anda bahwa kita perlu
berolahraga minimal 150 menit setiap minggu untuk mencegah penyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular? Sekarang, coba jujur pada diri Anda sendiri: sudahkah Anda berolahraga dengan memenuhi jumlah waktu minimal tersebut? Beberapa data menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil orang Indonesia di atas usia 17 tahun yang punya kebiasaan ini.
Mari kita fokus pada kebiasaan merokok untuk sesi ini. Perokok kemungkinan besar tahu bahwa
merokok membawa banyak risiko penyakit. Lantas, mengapa masih banyak orang yang merokok di Indonesia? Dalam konteks yang akan kita bahas, mengapa masih banyak anak berusia di bawah 17 tahun yang akhirnya mulai merokok (dan lantas menjadi kebiasaan)?
The Tobacco Atlas menyebutkan bahwa Indonesia adalah
negara peringkat ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia dan 41% remaja laki-laki usia 13–15 tahun adalah perokok.