Mungkin Anda pasti pernah melihat —atau bahkan terlibat langsung— kampanye berupa petisi daring untuk mengumpulkan ratusan ribu tandatangan. Apa menurut Anda yang menjadi ukuran keberhasilan kampanye-kampanye ini? Jumlah “like” dan “share”? Diliput media? Dianggap “viral”? Jumlah tanda-tangan yang mendukung petisi daring? Hal-hal ini hanyalah aspek kecil dan bahkan kurang relevan untuk menilai apakah sebuah kampanye untuk mendorong perubahan sosial efektif atau tidak.
Semua organisasi masyarakat sipil (disingkat OMS) bercita-cita memperbaiki kehidupan masyarakat yang menjadi konstituennya, tapi ada banyak hambatan yang menghalangi cita-cita itu. Salah satu hambatannya adalah adanya kebijakan atau praktik yang mengganggu kemaslahatan bersama (misalnya kebijakan yang diskriminatif atau mendorong kerusakan lingkungan). Salah satu hambatan lainnya adalah tingkah laku sebagian dari masyarakat yang dinilai merugikan diri sendiri atau orang lain.
Untuk mengatasi hambatan ini, banyak OMS yang akhirnya melakukan kampanye publik. Jika hambatan yang ingin mereka atasi adalah adalah kebijakan, maka kampanye akan bertujuan menggerakan warga untuk menuntut kebijakan itu diubah. Jika hambatannya adalah perilaku sebagian masyarakat, maka kampanye bertujuan untuk mengubahnya. Kampanye yang bertujuan mengubah kebijakan atau yang mengubah perilaku masuk dalam kategori “kampanye perubahan sosial”.
Sejak orang Indonesia getol menggunakan media sosial, kita gampang berpapasan dengan contoh kampanye perubahan sosial. Berbagai kalangan meluncurkan kampanye perubahan perilaku masyarakat di awal pandemi COVID-19. Kampanye-kampanye ini umumnya mengajak masyarakat mengadopsi perilaku baru seperti menggunakan masker, lebih sering cuci tangan dengan cara yang benar, menjaga jarak fisik dengan orang lain, dan menghindari kerumunan. Setelah vaksin COVID tersedia, maka muncul kampanye mengajak orang untuk divaksinasi lengkap.
Contoh kampanye mendorong perubahan kebijakan yang paling akhir di Indonesia adalah menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-undang. Usaha mendorong munculnya UU sebetulnya sudah mulai sejak 10 tahun lalu, namun kampanye publik mulai mengemuka paling tidak sejak paruh kedua 2021. Bahan-bahan materi kampanye publik ini mulai dari liputan media, penjelasan apa itu kekerasan seksual dan mengapa perlu ada undang-undang khusus di Indonesia, sampai akhirnya merebak menjadi pembicaraan organik (bukan dipicu pihak penggerak kampanye) di media sosial. Tentu saja tidak ketinggalan penggalangan dukungan untuk petisi daring yang berhasil mengumpulkan 349.743 tanda-tangan. Advokasi kebijakan dan kampanye publik ini sudah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan: RUU TPKS akhirnya disahkan DPR menjadi UU tanggal 12 April 2022.
Bisakah kita menilai bahwa karena akhirnya UU TKPS disahkan, maka kita bisa melihat bahwa kampanye publik menggalang dukungan masyarakat terhadap RUU ini efektif alias berhasil? Dengan melihat jumlah kasus, jumlah kematian, dan tingkat reproduktivitas (R
o) COVID19 di Indonesia, bisakah kita menilai bahwa kampanye-kampanye perubahan tingkah laku yang ada efektif atau tidak?
Lalu bagaimana dengan kampanye-kampanye perubahan sosial lain? Jika kebijakan yang didorong belum juga disahkan setelah melakukan kampanye perubahan sosial selama bertahun-tahun, apakah niscaya kita bisa memvonis bahwa kampanyenya gagal? Lalu bagaimana jika kebijakan yang disahkan ternyata isinya berbeda jauh dengan usulan CSO? Apakah kampanye perubahan sosial yang menyertai upaya advokasi kebijakan masih bisa dikatakan berhasil?
Pertanyaan-pertanyaan yang sama bisa diajukan ke kampanye perubahan perilaku. Kapankah sebuah kampanye perubahan perilaku bisa dianggap efektif? Kita sudah sering melihat kampanye “meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu kesehatan mental” di media sosial, Jika makin banyak orang yang menyebut istilah-istilah kesehatan mental dalam pembicaraan sehari-hari namun jumlah orang yang menerima layanan psikologis atau psikiatris masih juga belum meningkat, bisakah kita bilang bahwa kampanye ini gagal?
Jika ditanya soal efektivitas kampanye perubahan sosial, mereka yang sedang mengelola kampanye perubahan sosial (terutama yang berlangsung di kanal media sosial) biasanya menyebutkan angka-angka hasil pengukuran impression, reach, like, share, engagement rate, tanggapan, atau jumlah tanda-tangan yang mendukung petisi daring. Kadang-kadang mereka pun menyebutkan berapa banyak media yang meliput kampanye mereka. Jika angka-angkanya dianggap cukup bagus (walau seringnya tidak jelas dibandingkan dengan tolok-ukur apa), biasanya mereka merasa cukup bangga sudah berhasil mengerjakan satu tugas yang penting atau mulia. Namun betulkah tanggapan atas materi yang diunggah sama dengan efektivitas?
Jadi bagaimanakan seharusnya efektivitas sebuah kampanye perubahan sosial diukur? Jawaban singkatnya adalah: sebuah kampanye perubahan sosial dianggap efektif jika berhasil mendatangkan perubahan yang diinginkan. Lalu bagaimana kita menentukan perubahan apa yang secara realistis bisa dibawa sebuah kampanye perubahan sosial, dan bukan faktor-faktor lain? Caranya adalah dengan menyusun teori perubahan sebagai langkah awal dalam membuat strategi kampanye.
Sebuah kampanye harus punya teori perubahanTeori perubahan (diterjemahkan dari “theory of change”) kedengarannya rumit atau bahkan mistis, tapi sebetulnya cukup sederhana. Semua OMS ingin mendatangkan perubahan yang berujung kebaikan masyarakat . Kebanyakan perubahan itu baru akan terjadi jika ada satu atau lebih masalah yang perlu dipecahkan, sehingga situasi saat ini tidak ideal. Teori perubahan adalah sejumlah hipotesis tentang bagaimana program yang dijalankan OMS bisa memecahkan masalah(-masalah) itu, sehingga perubahan yang diinginkan akhirnya bisa hadir. Bentuk teori perubahan bisa sebuah diagram sederhana, atau sebuah alinea pendek dengan kalimat-kalimat yang formatnya “jika…, maka…”.
Sudah banyak OMS yang membuat teori perubahan sebelum memulai setiap programnya. Namun sayangnya kegiatan kampanye OMS kebanyakan tidak diawali dengan membuat teori perubahan. Berdasarkan tanya jawab dengan staf OMS, kami menduga ini terjadi karena kampanye perubahan sosial biasanya hanya dipandang sebagai salah satu aktivitas taktis dalam program, dan dianggap sejalan dengan acara seperti seminar atau lokakarya.
Bagaimana menyusun teori perubahan untuk kampanye perubahan sosial? Ikuti langkah-langkah berikut:
- Lukiskan apa yang Anda lihat jika perubahan utama yang organisasi Anda dorong akhirnya tercapai (“what success looks like?”). Apa yang Anda lihat di situasi itu, yang beda daripada kondisi saat ini? Tulis dalam sebuah kotak.
- Mundur ke belakang: sebelum “kemenangan pemungkas” itu tercapai, apa yang harus ada dulu? Jika perlu Anda harus mundur beberapa tahap (dan mengisi beberapa kotak) sampai Anda menemui kondisi seperti “kebijakan X berubah (dicabut, direvisi, atau disahkan)” atau “kelompok X melakukan (perilaku spesifik”).
- Setelah menulis kotak-kotak tadi dan sampai di kotak tentang perubahan kebijakan atau perubahan perilaku, maka berhenti sejenak. Anda harus loncat ke situasi saat ini. Lukiskan apa yang terjadi sekarang (situasi baseline atau paduk).
- Tulis satu kotak baru yang menghubungkan kotak yang Anda isi di langkah 2 dan 3. Kotak ini seharusnya adalah tujuan kampanye perubahan sosial.
Ini contoh teori perubahan untuk sebuah kampanye mendorong perubahan kebijakan: