Mengubah pemuda yang tidak peduli lingkungan menjadi pelindung hutan
Klien:
Tahun:
Climate and Land Use Alliance
2019
Arahan klien

Sejumlah CSO di Indonesia yang bekerja di sektor lingkungan dan menjadi penerima dana dari Climate and Land Use Alliance (CLUA) percaya bahwa tahun sebelum pemilu (2019) adalah periode di mana mereka bisa memanfaatkan momentum dengan signifikan. Mereka mengundang C4C untuk berdiskusi bagaimana cara berkampanye yang baik untuk orang yang mengikuti pemilu pertama kali, sehingga mereka mau mendorong kandidat legislatif dan presidensial untuk memasukkan isu deforestasi ke dalam janji politik mereka.

Pemahaman kami

Studi dari Pew di tahun 2015 menunjukkan bahwa hanya 41% orang Indonesia percaya bahwa perubahan iklim adalah masalah yang serius. Sementara itu, Roy Morgan Single Source di tahun 2016 menunjukkan bahwa 52% orang Indonesia merasakan bahwa isu lingkungan telah dibesar-besarkan. Studi dari Center for Strategic and International Studies (2019) juga menunjukkan bahwa kurang dari 2% dari pemilih melihat bahwa isu lingkungan adalah masalah paling penting yang mereka hadapi sekarang, dan kurang dari 2% orang menganggap bahwa ini program pemerintah yang paling penting.
Sebelum proyek ini berjalan, C4C telah menjalankan studi kualitatif untuk mencari tahu apa yang menjadi perhatian anak muda Indonesia, yang tidak mengalami kerusakan lingkungan secara langsung, sehingga kami tahu apa yang bisa kami gunakan untuk mengubah mereka dari bersikap acuh menjadi peduli tentang isu-isu seperti ini. Cara terbaik untuk membuat pemuda urban peduli terhadap deforestasi adalah dengan mem-framing ulang isu ini sebagai isu kebanggaan nasional.

Inti strategi

Tujuan utama kampanye Golongan Hutan adalah untuk mengatasi ketidakpedulian pemuda urbah Indonesia terhadap deforestasi, sehingga jika dipicu oleh CSO, mereka akan menuntut kebijakan dan praktik pro-kehutanan dari pembuat kebijakan.
Theory of change dari kampanye ini adalah sebagai berikut:
Kami percaya alasan pemuda urban tidak peduli terhadap deforestasi juga ada hubungannya dengan fakta bahwa tidak ada orang di luar komunitas aktivisme lingkungan yang membicarakannya di media sosial. Setelah mengamati jenis protes warganet yang ditanggapi pemerintah, di mana biasanya ada elemen kemarahan moral, kami berhipotesis bahwa yang kurang dari kampanye deforestasi selama ini adalah framing moral-emosi yang relevan untuk mayoritas masyarakat Indonesia yang berpandangan konservatif.

Beberapa bulan sebelum inisiatif kampanye Golongan Hutan dimulai, kami menjalankan studi kualitatif di enam kota di Indonesia (juga untuk CLUA). Dalam studi tersebut, kami menyimpulkan bahwa kita harus menggunakan naratif deforestasi sebagai ancaman untuk status nasional Indonesia sebegai area kehutanan ketiga terbesar di dunia (pondasi moral infringement of loyalty).

Eksekusi yang kami jalankan

Dalam fase pertama dari kampanye Golongan Hutan, kami mencoba untuk memperkenalkan korupsi dalam sumber daya alam sebagai penjahat deforestasi. Lalu setelah mengevaluasi kinerja kampanye, kami memutuskan untuk menggeser naratif di mana kami mempercepat konsekuensi negatif dari deforestasi dari masa depan (bencana alam) ke masa kini (Indonesia kehilangan status yang bisa dibanggakan). Kami juga memutuskan untuk mengubah nada dan gaya kampanye kami menjadi lebih ringan dan "populis". Kami memilih call-to-action baru, di mana kamimenitipkancalon presiden yang terpilih untuk menjaga hutan dengan serius.

Kami menggunakan ide "negara berflower vs negara berforest" momen viral dari tiga kanal media sosial: Facebook, Instagram, dan Twitter. Setiap hari, kami merapatkan telinga untuk mengetahui apa yang warganet sedang bicarakan, lalu menerapkan teknik compare-and-contrast secara berkala setiap minggu.
Image 2: contoh konten dari media sosial Golongan Hutan di tahun 2019
Hasil

Kampanye ini berjalan dalam dua tahap, masing-masing dengan call-to-action yang berbeda namun saling berkaitan. Kampanye pertama, Desember 2018 hingga April 2019, memfasilitasi pemilih muda untuk men-tweet pertanyaan ke kandidat yang maju untuk pemilu. Ada 5.858 tweet yang dibuat dan tweet tersebut datang dari orang-orang di luar komunitas aktivis.

Kampanye kedua dan terakhir pada Agustus hingga Oktober 2019 mengumpulkan tanda tangan untuk petisi yang meminta presiden terpilih untuk menjaga hutan sehinggan Indonesia tidak kehilangan posisi sebagai pemilik area hutan ketiga terbesar di dunia. Sebanyak 49.873 orang menandatangani petisi tersebut.

Fase kedua kampanye berhasil lebih baik daripada kampanye pertama dalam sisi output (pertumbuhan follower, jumlah partisipan, dan content engagement rate) dan efisiensi (cost per participation). Namun, jika kita berkomitmen untuk mengubah pemuda urban yang tak peduli menjadi warga yang prihatin terhadap hutan, kita perlu bekesadaran tinggi dalam menentukan dan menjaga indikator kampanye yang berkorespondensi kepada tujuan jangka panjang kita, yaitu mengubah sikap dan perilaku.

Galeri
Tertarik dengan program serupa?
Atur janji bicara