Selanjutnya, bisa mengajukan beberapa kemungkinan penyebab masalah itu dan mengeliminasi hipotesis yang tidak cocok. Ia bisa memikirkan solusi untuk memecahkan masalah itu, dan memikirkan cara menguji apakah solusi untuk memecahkan masalah itu sudah tepat.
Lulusan perguruan tinggi Indonesia yang mampu berpikir analitis cukup langkaJika Anda perhatikan, dari tadi saya banyak sekali menggunakan kata “seharusnya”. Ini memang disengaja, karena kenyataannya jauh berbeda. Anekdot dari pengalaman saya saat merekrut calon pegawai baru menunjukkan bahwa lulusan baru perguruan tinggi yang punya kemampuan berpikir analitis yang tajam cukup langka.
Anekdot ini rupanya didukung data yang meyakinkan. Dari 1 April 2014 sampai 31 Maret 2015, sebanyak 7.229 penduduk berusia 16–65 tahun di Jakarta yang dipilih secara acak mengikuti
The Survey of Adult Skills (SAS) yang diselenggarakan oleh OECD. SAS sering juga disebut sebagai tes PIAAC, kepanjangan dari
Programme for the International Assessment of Adult Competencies. Anda mungkin familiar dengan tes PISA (juga diselenggarakan OECD) yang mengukur kemampuan akademis dasar siswa usia 15 tahun dari berbagai negara. Jika tes PISA untuk anak SMP, maka tes PIAAC adalah untuk orang dewasa, yang mengukur tiga kompetensi kunci dalam mengolah informasi, yakni:
- Literasi: kemampuan untuk memahami dan menanggapi dengan tepat informasi yang hadir sebagai teks atau tulisan
- Numerasi: kemampuan untuk menggunakan konsep numerik dan matematik
- Memecahkan masalah dalam lingkungan yang kaya-teknologi: kapasitas untuk mengakses, menafsirkan, dan menganalisis informasi yang ditemukan atau disebarkan dalam ranah digital.
Data yang tersedia untuk Jakarta hanyalah untuk literasi dan numerasi.
Ternyata skor orang dewasa Jakarta dalam dua bidang ini sama jebloknya dengan skor anak 15 tahun seluruh Indonesia. Dari 34 negara yang mengikuti tes PIAAC, Jakarta secara konsisten duduk di peringkat terbawah dalam dua area kompetensi itu, untuk semua kelompok umur (baca berita versi bahasa Inggris di
sini dan Bahasa Indonesia di
sini).
Rentang skor PIAAC untuk tiap kompetensi adalah 0 sampai 500, dan kemudian dibagi dalam beberapa level. Untuk literasi dan numerasi, ada 6 level (di bawah 1, lalu 1 sampai 5); dan untuk pemecahan masalah ada 4 (di bawah 1, lalu 1 sampai 4).
Hasil Jakarta adalah sebagai berikut (laporan lengkapnya ada di
sini):
Literasi
- Nyaris 70% orang dewasa Jakarta hanya sampai di level 1 atau di bawahnya. Mereka hanya bisa membaca teks yang singkat dalam topik yang sudah familiar untuk menemukan sebuah informasi spesifik.
- Kurang dari 1% orang dewasa Jakarta sampai pada level tertinggi (4 atau 5) dalam literasi. Di level 4, orang dewasa mampu mengintegrasi, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang panjang dan rumit, yang berisi informasi bertentangan atau kondisional. Hanya 5.4% orang dewasa Jakarta yang sampai di level 3 (mampu memahami dan menanggapi teks yang panjang, menafsirkan atau mengevaluasi sepotong informasi tambahan, dan membuat kesimpulan)
- Angka rerata dari skor literasi dari orang dewasa Jakarta yang berpendidikan di tingkat universitas lebih rendah dari angka rerata skor penduduk negara OECD berusia 16–24 yang hanya lulus sekolah dasar. Sekali lagi: sarjana di Jakarta punya kemampuan literasi yang lebih rendah dari penduduk OECD yang hanya lulus SD.
Numerasi
- 60% orang dewasa Jakarta mencapai level 1 atau di bawahnya. Di level 1, orang dewasa hanya bisa melakukan proses matematika dasar, seperti membilang, mengurutkan, menghitung aritmatika sederhana dengan bilangan bulat.
- Hanya 1,4% orang dewasa Jakarta yang mencapai level 4 atau 5 (memahami informasi matematis yang kompleks, abstrak, atau berasal dari lingkungan baru), sementara 9,1% mencapai level 3 (mampu bekerja dengan hubungan matematis, bisa menafsirkan dan melakukan analisis dasar statistik).
Melihat data di atas, nampaknya kita harus mengakui bahwa kita memang “
a nation of dunces”.
Kemampuan berpikir analitis bisa ditingkatkanGambaran di atas memang gelap. Nampaknya sesuatu terjadi (atau justru tidak terjadi) dalam perkuliahan sehingga kurang dari 2% lulusan perguruan tinggi kita yang bisa sampai pada level kompetensi yang dibutuhkan untuk bisa berpikir analitis. Tapi saya tidak akan membahasnya di sini.
Untungnya kemampuan berpikir (termasuk berpikir analitis)
bisa terus ditingkatkan, mirip seperti kita menjadi lebih jago berolahraga dalam berbagai cabang. Meningkatkan kemampuan berpikir analitis dimulai dengan mengenal secara mendetail metode dan langkah dalam berpikir analitis, lalu berlatih dengan meniru di bawah bimbingan dan mendapat umpan balik, sampai akhirnya memindahkan keterampilan ini ke konteks lain.
Untuk berkenalan dengan metode dalam berpikir analisis, saya merekomendasikan buku
Problem Solving 101: A Simple Book for Smart People oleh Ken Watanabe (2013). Buku ini ditulis dalam bahasa Inggris yang mudah diikuti (saya tidak merekomendasi terjemahan Bahasa Indonesia). Penulis menjelaskan metode berpikir analitis melalui cerita singkat tentang situasi yang spesifik dan konkret, namun pembaca akan cukup mudah untuk membayangkan aplikasinya dalam situasi yang lebih relevan buatnya.