Pada saat Anda membaca tulisan ini, menyebutkan berbagai cara COVID-19 telah menjungkirbalikkan kehidupan kita sudah merupakan hal yang klise namun tetap perlu. Hal yang paling mengejutkan bagi saya adalah bagaimana ini membuat masalah-masalah yang belum terselesaikan di Indonesia menjadi semakin buruk, membuat pandemi dan dampaknya menjadi sangat buruk. Ketimpangan yang merajalela adalah contoh utama dari masalah-masalah tersebut, dan saya ingin menambahkan satu masalah lagi: memburuknya kualitas debat publik di Indonesia.
Pada hari-hari awal wabah, komunitas kesehatan masyarakat dan masyarakat sipil menuntut pemerintah untuk mendengarkan bukti-bukti berbasis sains dan memberlakukan karantina wilayah (lockdown) parsial melalui media sosial. Sementara itu, presiden secara terbuka menyatakan keengganannya untuk melakukan hal tersebut
1, dan pemerintah lebih memilih untuk memberikan pengarahan kepada para influencer di media sosial (“buzzer”) untuk menyampaikan narasi terkait COVID-19 kepada publik
2. Tak lama kemudian, para buzzer pro-pemerintah menyerang permintaan lockdown dan membingkainya sebagai taktik untuk meningkatkan peluang saingan politik presiden untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2024
3,4,5. Perlu dicatat bahwa taktik pengalihan perhatian seperti ini telah digunakan sebelumnya, misalnya dalam mendorong revisi undang-undang yang membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi
6.
Pola yang sama juga terlihat pada akhir Mei ketika akun-akun media sosial dalam jaringan Polri meluncurkan kampanye besar-besaran untuk mendorong “normal yang baru”, menelan keberatan dari para ahli kesehatan dan masyarakat yang cemas
7.
Para aktor dari masyarakat sipil telah menyatakan kegelisahan mereka tentang bagaimana pemerintah telah mempersenjatai para buzzer untuk melawan para pengkritik
8,9. Namun, ada baiknya kita menguraikan mengapa buzzer menjadi racun bagi debat publik dan dengan demikian berbahaya bagi demokrasi.
Para buzzer cenderung bekerja dengan cara “menyoroti” keluhan (“ini tidak otoriter”) atau menggunakan kekeliruan logika seperti ad-hominem (“para pengkritik adalah pendukung agenda pro-Islamisme”), false-dilemma (“kebebasan berkumpul atau Indonesiaku”), atau slippery-slope (“jika kita mulai membahas Papua, NKRI akan bubar”). Penggunaan taktik-taktik ini merupakan ciri khas argumentasi yang buruk dan tidak menyisakan ruang untuk bukti dan logika. Karena para buzzer ini memiliki audiens yang sangat besar, bisa dibilang mereka menetapkan norma-norma tentang debat publik, dan dengan demikian berkontribusi pada kehancurannya.
Ketika pemerintah lebih memilih untuk menggunakan propaganda media sosial daripada menggunakan bukti dari komunitas sains dan penelitian, apakah lembaga pemikir dan organisasi masyarakat sipil (OMS) memiliki kesempatan untuk mendorong reformasi yang sangat dibutuhkan?
Lembaga think-tank (saya merujuk pada OMS di bidang penelitian dalam diskusi ini) ada untuk memobilisasi keahlian dan ide untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Agar efektif, lembaga think-tank harus mampu menciptakan lingkungan sosial dan intelektual yang memaksa para pemangku kepentingan untuk berdebat dan menyadari bias-bias mereka sendiri. Mereka juga harus menyediakan sebuah kanal untuk memperkenalkan ide-ide baru dan memperluas cakupan debat publik
10. Kanal tersebut harus mencakup media sosial, karena masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan rajin menggunakan media sosial
11.
Saya
pernah menyatakan bahwa bagi banyak lembaga think tank, komunikasi di media sosial belum diperlakukan sebagai bagian integral dari program. Media sosial lebih banyak digunakan untuk mengumumkan acara yang akan datang, menggantikan kartu ucapan, atau paling banyak untuk menyebarluaskan temuan atau analisis. Jika lembaga think tank terus melakukan hal ini, mereka menyia-nyiakan kesempatan untuk meningkatkan kualitas debat publik, memperkuat demokrasi, dan menciptakan iklim yang baik untuk advokasi mereka.
Bagaimana lembaga think-tank menggunakan media sosial mereka untuk mendorong dan meningkatkan debat publik? Hal ini berkaitan dengan praktik penulisan akademis yang mereka lakukan setiap hari. Tulisan akademis terbaik memiliki satu ciri utama: tulisan tersebut terlibat secara mendalam dengan pandangan orang lain
12, seperti para akademisi lain di bidangnya.
Dengan kata lain, pada tingkat yang paling mendasar, konstruksi tulisan akademik yang persuasif dan menarik adalah “
They say (kata mereka) /
I say (kata saya)”. Oleh karena itu, untuk menjadi debat publik yang efektif, lembaga pemikir harus turut campur dalam percapakan yang sedang berlangsung, menggunakan pernyataan orang lain (“kata mereka”) sebagai landasan untuk menegaskan temuan dan bukti mereka (“kata saya”). Mereka harus menunjukkan sesuatu tentang argumen lain yang mereka dukung, tolak, perlu diperbarui, atau sesuai.
Berikut ini adalah contoh yang bagus dan terbaru dari SMERU Institute yang telah melakukan banyak penelitian tentang kemiskinan. Pada 5 Juni tahun ini, SMERU menanggapi cuitan seorang influencer dengan satu juta pengikut di Twitter yang menyatakan keberatannya tentang privilege yang digunakan untuk mengkerdilkan kesuksesan seseorang karena kerja keras lebih penting. SMERU menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan ketidaksetujuannya (secara santun) dan memperkenalkan studi mereka tentang kurangnya mobilitas sosial ke atas di kalangan masyarakat miskin di Indonesia. Interaksi ini mendapatkan respons yang luar biasa dari para netizen. Namun, yang lebih penting lagi, SMERU telah memperluas jangkauan perdebatan tentang kemiskinan struktural kepada mereka yang mungkin selama ini acuh tak acuh atau bahkan tidak tahu tentang besarnya ketimpangan di Indonesia.