Beberapa minggu terakhir membawa masa kelam di Jakarta—tingkat polusi yang makin mengkhawatirkan. Jakarta secara konsisten menempati peringkat di antara kota-kota paling terpolusi secara global3, menyebabkan gangguan pernapasan dan infeksi di antara penduduknya. Polusi udara kota ini telah memicu diskusi luas di kalangan pemerintah, media, aktivis, dan masyarakat. Besarnya permasalahan ini telah menarik perhatian yang signifikan. Bahkan beberapa teman saya memutuskan untuk terbang meninggalkan kota, mencari kualitas udara yang lebih baik.
Meskipun hujan yang terjadi baru-baru ini dan konferensi ASEAN telah meringankan kondisi polusi saat ini untuk sementara dengan mendorong kerja jarak jauh dan pendidikan online, namun permasalahan mendasarnya masih ada. Tanpa perubahan substansial, situasi akan semakin memburuk dan memerlukan tindakan revolusioner dari pemerintah, seperti mengurangi pembakaran batu bara pada pembangkit listrik atau memberlakukan pembatasan ketat terhadap mobil dan sepeda motor.
Mengukur tingkat polusi udara memerlukan penggunaan Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index - AQI), yang mengukur tingkat polusi udara berdasarkan konsentrasi lima polutan utama. Ozon di permukaan tanah, materi partikulat, karbon monoksida, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida adalah komponen utama yang digunakan untuk menghitung AQI 4 . Indeks ini berkisar antara 0 hingga 500, dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan tingkat polusi dan risiko kesehatan yang lebih besar. AQI diperoleh dari konsentrasi polutan selama jangka waktu tertentu, dengan nilai sub-indeks tertinggi yang menentukan AQI keseluruhan untuk lokasi dan waktu tersebut.
Kontribusi masing-masing polutan terhadap AQI dapat berbeda-beda tergantung lokasi dan jangka waktu. Daerah perkotaan biasanya mengalami peningkatan tingkat AQI karena polutan primer seperti partikel (PM2.5 dan PM10) dan nitrogen dioksida (NO2). Sebaliknya, daerah pedesaan sering kali mempunyai nilai AQI yang tinggi, terutama disebabkan oleh polutan seperti ozon (O3) dan partikel (PM2.5). Karena kami fokus di Jakarta, kami akan mengamati bagaimana pembatasan mobilitas dapat mempengaruhi partikel (PM).