Dari grafik di atas kita bisa melihat peningkatan jumlah pengunjung dalam periode April-Juni 2020 dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Di grafik juga terlihat jelas adanya dua puncak tertinggi pada bulan April-Juni. Hal ini perlu kita selidiki penyebabnya. Selain itu, deretan angka-angka di bawah grafik juga menunjukkan bahwa jumlah pengunjung baru,
session, dan
pageview atau jumlah halaman yang dikunjungi meningkat. Akan tetapi, jumlah
pages per session, session duration, dan bounce rate-nya mengalami penurunan, sehingga perlu kita selidiki juga penyebabnya. Jadi, dari data-data ini saja, kita sudah bisa menarik beberapa kesimpulan dan memiliki dua pertanyaan baru yang perlu dicari jawabannya.
Padahal gambar di atas hanya menunjukkan secuil data paling dasar yang disediakan Google Analytics. Masih ada ratusan metrik dan data lain yang bisa kita akses di sana. Jadi bisa dibayangkan bahwa platform analitik itu sangat luas, dipenuhi tombol-tombol misterius, metrik-metrik yang terlihat keren, angka-angka yang menarik, dan diagram warna-warni. Kalau tidak terarah, kita bisa mengalami apa yang orang Jawa bilang
keblinger, atau orang Inggris sebut
overwhelmed. Kita tersesat dalam belantara data, jadi pusing sendiri, dan malah membuat kesimpulan yang salah atau tidak relevan.
Contohnya, ketika saya membuat laporan hasil kampanye yang tujuannya meningkatkan kepedulian audiens tentang suatu isu. Saya akan punya banyak pertanyaan, misalnya berapa pengunjung situs ini, dan apakah ada peningkatan dari waktu ke waktu? Halaman mana saja yang sering dikunjungi pengunjung? Apakah audiens membaca konten yang informatif seperti infografik atau artikel tentang isu? Jika ya, berapa artikel yang dibaca dalam sekali kunjungan? Apakah mereka membacanya sampai habis? Dan lain-lain.
Namun informasi tadi juga tidak cukup untuk bisa menjawab apakah benar terjadi peningkatan kepedulian tentang isu tersebut. Pertanyaan tentang terjadi tidaknya peningkatan kepedulian akibat program kampanye publik kita adalah pertanyaan tentang
outcome (hasil capaian). Data yang diambil dari platform analitik tidak akan bisa menjawab pertanyaan tentang
outcome. Untuk menjawab pertanyaan
outcome, kita perlu data lain.
Data yang paling bisa diandalkan untuk menjawab
outcome sebuah kampanye publik dalam mengubah pendapat atau perilaku adalah data perbandingan antara
baseline (situasi sebelum kampanye dimulai) dengan
endline (situasi sesudah kampanye berakhir). Data
baseline dan
endline idealnya didapat dari mensurvei responden yang mewakili kelompok yang jadi sasaran kampanye. Jika kampanye bertujuan meningkatkan kepedulian, tentu kita harus melihat apakah proporsi responden yang pernah mendengar atau paham sebuah isu di survei
endline secara signifikan lebih besar daripada proporsi di survei
baseline.
Namun sayangnya, di Indonesia jarang sekali kampanye publik yang menggunakan survei
baseline dan
endline. Kalau situasinya tidak ideal seperti ini, kita harus menggunakan data dari alat pengukuran lain sebagai
proxy, misalnya
social network analysis (SNA) alias “analisis dari hasil mencuri dengar percakapan warganet di media sosial”. Dengan SNA, kita bisa mengetahui apakah ada peningkatan pembicaraan warganet tentang isu yang kita angkat. Kita juga bisa melihat bagaimana sentimennya dan siapa saja yang gencar membicarakan tentang isu tersebut. Perhatikan bahwa saya menulis kata “perubahan” dan “peningkatan”. Artinya untuk
proxy (seperti SNA) kita tetap harus mengukur situasi sebelum dan sesudah kampanye.
Contoh
proxy lain yang pernah saya gunakan adalah volume pencarian istilah yang diukur di Google Trend. Di Google Trend, kita bisa membandingkan popularitas
keyword kampanye kita dengan
keyword lain di mesin pencari Google dan membandingkannya sebelum dengan setelah kampanye. Peningkatan popularitas
keyword bisa menjadi indikasi meningkatnya
awareness masyarakat tentang
keyword dan topik tersebut.
Kampanye pengumpulan donasi dan pengumpulan tanda tangan petisi memang terlihat mirip, karena sama-sama menggalang dukungan. Tetapi pengukuran
outcome-nya berbeda. Untuk kampanye donasi, data analitik dan jumlah donasi dapat digunakan untuk mengukur
outcome, karena hasil akhir yang diharapkan memang sebatas pada jumlah donasi yang terkumpul.
Sedangkan kampanye tanda tangan petisi pengukurannya lebih rumit. Jumlah tanda tangan tidak bisa dianggap sebagai
outcome, karena masih ada tujuan yang lebih besar di balik petisi tersebut, misalnya perubahan peraturan, dicabut atau diberikannya izin kepada lembaga tertentu, pemberian ganti rugi, atau tuntutan lainnya. Kalaupun tuntutan terlaksana, perlu dipastikan bahwa perubahan ini adalah dampak dari kampanye publik yang kita lakukan.
Selain itu, jika penandatanganan petisi dilakukan melalui platform eksternal, seperti Change.org, sebetulnya penting bagi
campaigner untuk melihat analitiknya buat menilai kinerja petisi. Tetapi saya juga belum pernah melakukannya dan tidak tahu apakah Change.org bersedia membuka data tersebut. Mungkin teman-teman yang sedang melakukan kampanye tanda tangan petisi bisa menanyakan kepada Change.org tentang ketersediaan data ini.
Petunjuk menganalisis analitik media sosialLatih Logika baru saja memiliki akun media sosial
Twitter dan
Instagram. Karena itu, saya beberapa kali membuat laporan tentang kinerja akun-akun ini untuk mengetahui apa saja yang sudah baik dan apa yang harus diperbaiki. Maka pertanyaan yang muncul berkaitan dengan kegiatan yang kita lakukan di sana. Misalnya, konten apa saja yang paling diminati dan tidak diminati audiens? Hari apa saja dan jam berapa saja sebaiknya konten diunggah? Bagaimana usia audiens: apakah Latih Logika berhasil menjangkau anak muda? Apakah jumlah audiens (
followers,
reach) kita meningkat dari waktu ke waktu? Bagaimana kurvanya, adakah peningkatan drastis pada saat tertentu? Jika ada, apa kira-kira sebabnya, apakah bisa direplikasi?
Sama seperti untuk analitik situs, analitik media sosial pun tidak bisa digunakan untuk menentukan sejauh mana kampanye berhasil mencapai
outcome.