Analytics untuk kampanye publik organisasi nirlaba — bagian 3: apa yang harus diperiksa

Kalau Anda staf komunikasi di organisasi tapi nyaris tak pernah memeriksa analitik media digital, maka artikel ini buat Anda.

By Paramita Mohamad
March 24, 2021
Artikel ini adalah artikel ketiga dari empat bagian. Sekarang kita akan membahas pentingnya daftar pertanyaan dalam memeriksa analitik. Anda bisa membaca artikel pertama di sini, dan artikel kedua di sini.
Di artikel pertama kita sudah membahas pentingnya memeriksa analitik situs dan media sosial kampanye publik yang kita jalankan, khususnya dalam menulis laporan monitoring atau evaluasi. Analoginya, menulis laporan adalah seperti memasak, sedangkan analitik adalah seperti pasar. Sebagaimana pentingnya berbelanja ke pasar sebelum memasak, penting juga untuk kita mengunjungi analitik untuk mengumpulkan data yang akan kita olah menjadi laporan yang menarik, bermakna, dan sesuai konteks.

Masih dengan analogi masak, ada tiga hal yang perlu kita perhatikan dalam memeriksa analitik, yaitu menentukan menu masakan, membuat catatan belanja, dan bereksplorasi sambil tetap membatasi diri. Pada artikel kedua, kita sudah membahas poin pertama. Di artikel ini, kita akan membahas poin tentang catatan belanja untuk membantu mencari bahan.

Sebelum belanja, biasanya kita punya catatan berisi apa yang perlu dibeli. Tujuannya agar tidak membuang waktu dan uang buat beli yang tidak penting, atau malah lupa beli yang penting. Begitu juga dengan analitik. Sebelum cari data, kita harus mulai dengan membuat daftar pertanyaan yang perlu dijawab untuk dipakai menyusun argumen di laporan yang akan kita tulis. Daftar pertanyaan inilah yang menjadi catatan belanja kita dalam mengumpulkan data analitik. Simak contohnya berikut ini.

Apa yang perlu diperhatikan dari analitik situs

Gambar di bawah ini berasal dari Google Analytics Latih Logika.
Dari grafik di atas kita bisa melihat peningkatan jumlah pengunjung dalam periode April-Juni 2020 dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Di grafik juga terlihat jelas adanya dua puncak tertinggi pada bulan April-Juni. Hal ini perlu kita selidiki penyebabnya. Selain itu, deretan angka-angka di bawah grafik juga menunjukkan bahwa jumlah pengunjung baru, session, dan pageview atau jumlah halaman yang dikunjungi meningkat. Akan tetapi, jumlah pages per session, session duration, dan bounce rate-nya mengalami penurunan, sehingga perlu kita selidiki juga penyebabnya. Jadi, dari data-data ini saja, kita sudah bisa menarik beberapa kesimpulan dan memiliki dua pertanyaan baru yang perlu dicari jawabannya.

Padahal gambar di atas hanya menunjukkan secuil data paling dasar yang disediakan Google Analytics. Masih ada ratusan metrik dan data lain yang bisa kita akses di sana. Jadi bisa dibayangkan bahwa platform analitik itu sangat luas, dipenuhi tombol-tombol misterius, metrik-metrik yang terlihat keren, angka-angka yang menarik, dan diagram warna-warni. Kalau tidak terarah, kita bisa mengalami apa yang orang Jawa bilang keblinger, atau orang Inggris sebut overwhelmed. Kita tersesat dalam belantara data, jadi pusing sendiri, dan malah membuat kesimpulan yang salah atau tidak relevan.

Contohnya, ketika saya membuat laporan hasil kampanye yang tujuannya meningkatkan kepedulian audiens tentang suatu isu. Saya akan punya banyak pertanyaan, misalnya berapa pengunjung situs ini, dan apakah ada peningkatan dari waktu ke waktu? Halaman mana saja yang sering dikunjungi pengunjung? Apakah audiens membaca konten yang informatif seperti infografik atau artikel tentang isu? Jika ya, berapa artikel yang dibaca dalam sekali kunjungan? Apakah mereka membacanya sampai habis? Dan lain-lain.

Namun informasi tadi juga tidak cukup untuk bisa menjawab apakah benar terjadi peningkatan kepedulian tentang isu tersebut. Pertanyaan tentang terjadi tidaknya peningkatan kepedulian akibat program kampanye publik kita adalah pertanyaan tentang outcome (hasil capaian). Data yang diambil dari platform analitik tidak akan bisa menjawab pertanyaan tentang outcome. Untuk menjawab pertanyaan outcome, kita perlu data lain.

Data yang paling bisa diandalkan untuk menjawab outcome sebuah kampanye publik dalam mengubah pendapat atau perilaku adalah data perbandingan antara baseline (situasi sebelum kampanye dimulai) dengan endline (situasi sesudah kampanye berakhir). Data baseline dan endline idealnya didapat dari mensurvei responden yang mewakili kelompok yang jadi sasaran kampanye. Jika kampanye bertujuan meningkatkan kepedulian, tentu kita harus melihat apakah proporsi responden yang pernah mendengar atau paham sebuah isu di survei endline secara signifikan lebih besar daripada proporsi di survei baseline.

Namun sayangnya, di Indonesia jarang sekali kampanye publik yang menggunakan survei baseline dan endline. Kalau situasinya tidak ideal seperti ini, kita harus menggunakan data dari alat pengukuran lain sebagai proxy, misalnya social network analysis (SNA) alias “analisis dari hasil mencuri dengar percakapan warganet di media sosial”. Dengan SNA, kita bisa mengetahui apakah ada peningkatan pembicaraan warganet tentang isu yang kita angkat. Kita juga bisa melihat bagaimana sentimennya dan siapa saja yang gencar membicarakan tentang isu tersebut. Perhatikan bahwa saya menulis kata “perubahan” dan “peningkatan”. Artinya untuk proxy (seperti SNA) kita tetap harus mengukur situasi sebelum dan sesudah kampanye.

Contoh proxy lain yang pernah saya gunakan adalah volume pencarian istilah yang diukur di Google Trend. Di Google Trend, kita bisa membandingkan popularitas keyword kampanye kita dengan keyword lain di mesin pencari Google dan membandingkannya sebelum dengan setelah kampanye. Peningkatan popularitas keyword bisa menjadi indikasi meningkatnya awareness masyarakat tentang keyword dan topik tersebut.
Kampanye pengumpulan donasi dan pengumpulan tanda tangan petisi memang terlihat mirip, karena sama-sama menggalang dukungan. Tetapi pengukuran outcome-nya berbeda. Untuk kampanye donasi, data analitik dan jumlah donasi dapat digunakan untuk mengukur outcome, karena hasil akhir yang diharapkan memang sebatas pada jumlah donasi yang terkumpul.

Sedangkan kampanye tanda tangan petisi pengukurannya lebih rumit. Jumlah tanda tangan tidak bisa dianggap sebagai outcome, karena masih ada tujuan yang lebih besar di balik petisi tersebut, misalnya perubahan peraturan, dicabut atau diberikannya izin kepada lembaga tertentu, pemberian ganti rugi, atau tuntutan lainnya. Kalaupun tuntutan terlaksana, perlu dipastikan bahwa perubahan ini adalah dampak dari kampanye publik yang kita lakukan.

Selain itu, jika penandatanganan petisi dilakukan melalui platform eksternal, seperti Change.org, sebetulnya penting bagi campaigner untuk melihat analitiknya buat menilai kinerja petisi. Tetapi saya juga belum pernah melakukannya dan tidak tahu apakah Change.org bersedia membuka data tersebut. Mungkin teman-teman yang sedang melakukan kampanye tanda tangan petisi bisa menanyakan kepada Change.org tentang ketersediaan data ini.

Petunjuk menganalisis analitik media sosial

Latih Logika baru saja memiliki akun media sosial Twitter dan Instagram. Karena itu, saya beberapa kali membuat laporan tentang kinerja akun-akun ini untuk mengetahui apa saja yang sudah baik dan apa yang harus diperbaiki. Maka pertanyaan yang muncul berkaitan dengan kegiatan yang kita lakukan di sana. Misalnya, konten apa saja yang paling diminati dan tidak diminati audiens? Hari apa saja dan jam berapa saja sebaiknya konten diunggah? Bagaimana usia audiens: apakah Latih Logika berhasil menjangkau anak muda? Apakah jumlah audiens (followers, reach) kita meningkat dari waktu ke waktu? Bagaimana kurvanya, adakah peningkatan drastis pada saat tertentu? Jika ada, apa kira-kira sebabnya, apakah bisa direplikasi?

Sama seperti untuk analitik situs, analitik media sosial pun tidak bisa digunakan untuk menentukan sejauh mana kampanye berhasil mencapai outcome.
Ketahui hal selanjutnya yang perlu diperhatikan dengan membaca artikel keempat batasan eksplorasi data. Saya menyarankan Anda membaca seluruh rangkaian artikel ini secara lengkap dan dengan berurutan agar mendapatkan informasi yang utuh dan runut. Jika Anda perlu analisis yang lebih menyeluruh tentang kinerja komunikasi di organisasi Anda, baik di media digital maupun media lain, Anda juga bisa menghubungi kami dengan klik banner di bawah ini.
Paramita Mohamad
Written by
CEO and Principal Consultant of Communication for Change. We work with those who want to make Indonesia suck less, by helping them get buy-in and make changes.

Related Articles